Seseorang pernah
mengatakan kurang lebih bunyi nya begini :
“Putri, jika seorang perempuan tidak
terlampau cantik wajahnya, maka buatlah dirinya cantik dengan sikapnya.
Bersikap anggunlah layaknya perempuan. Salah satu caranya adalah dengan menjaga
ucapan dan berbicara pada waktu yang diperlukan saja. Tidak perlu mengomentari
semua hal”
Kemudian ada
juga seseorang yang berujar seperti ini :
“Saat disuruh ngomong ya ngomong. Saat
gak perlu ngomong ya nggak usah ngomong. Ini nggak, malah kebalikannya yang
dilakukan.”
Tahukah siapa
yang memberi nasehat seperti itu ? Dua orang dosen yang aku kira sangat peduli
kepada ku. Nasehat pertama itu
disampaikan dalam omongan santai, pribadi dan saat ngalor ngidul sore-sore di
meja oren tempat biasa aku duduk-duduk bersama teman-teman. Disampaikan oleh
seseorang yang aku kira menyenangkan, Bapak Darmadi Ahmad S.Pd, M.Si (aku tulis
lengkap, biar beliau senang). Dan nasehat kedua itu aku dapatkan saat sedang
kuliah, dalam pembicaraan yang bisa dikatakan resmi sebab sedang belajar
matakuliah Bioetnomelayu dan sedang berada di ruang kelas oleh Dr.Suwondo,M.Si.
Ada beberapa persamaan yang aku tangkap dari dua nasehat ini. Tentang omongan,
pembicaraan, terutama bagi seorang perempuan. Di beberapa postingan ku yang
lalu, aku juga sudah pernah menyinggung sedikit mengenai perempuan. Bahkan
sampai saat ini, aku pun masih belajar bagaimana menjadi seorang perempuan yang
baik, anggun, dan bermartabat serta memang benar-benar mencerminkan diri
sebagai seorang perempuan. Terlepas dari suku manakah dia, terlepas dari agama
apa yang dia anut. Aku ingin menggambarkan perempuan yang baik secara universal
tanpa ikatan apa-apa.
Sebenarnya, dua
nasehat ini belum terlalu lama aku dapatkan. Nasehat pertama aku dapatkan
beberapa hari sebelum acara Pekan Raya Biologi, dan nasehat kedua aku dapatkan
baru hari senin minggu ini. Namun, barusan atau lebih tepatnya beberapa menit
yang lalu, ada satu hal yang membuatku ingin mengulas mengenai nasehat ini.
Sesuatu hal yang menyentil harga diriku sebagai perempuan, sesuatu hal yang
menurutku berbeda dengan pandangannya tentang perempuan “baik”, sesuatu hal
yang aku rasa ini perlu untuk dijelaskan lebih. Baiklah, mari kita mulai.
Sudah sangat sering aku katakan bahwa aku bukanlah perempuan
baik-baik versi dogma dan norma, tapi aku selalu ingin belajar dan memantaskan
diri menjadi seorang perempuan yang baik sesuai dengan agama, norma dan dogma
dalam masyarakat. Mengapa aku katakana demikian ? Sebab terlampau banyak aku
melakukan hal yang tak pantas bagi seorang perempuan lakukan atau ucapkan
(katanya). Aku sering pulang malam, meski tidak terlampau malam atau terkadang
malah terlampau larut malam sebab kegiatan kampus bukan huru-hara tak jelas. Namun
ibu bilang dan orang-orang bilang, perempuan tidak bagus pulang malam. Aku tahu
itu dan aku menerima alasannya, dan sebab itu pula lah aku sudah berjanji pada
ibu untuk mengurangi pulang malam karna aku yakin pasti akan masa (lagi) dimana
aku akan pulang malam lebih sering lagi, apalagi di semester ini.
Kemudian, aku terlampau sering bergaul dengan laki-laki. Sebagai
perempuan yang tidak hidup di zaman Jaka Tarub atau di zaman Sabai Nan Aluih,
dimana perempuan memang sangat tabu sekali untuk berteman dengan laki-laki, aku
kira ini adalah hal yang lumrah selama dalam batas yang wajar. Untuk perihal
ini aku berpatokan teguh pada agama, meskipun pada akhirnya ibu juga sedikit
keberatan dengan sikapku ini. Dalam hidupku aku berpikir seperti ini : “Selama
dia baik, dia tidak membawa pengaruh
buruk dan menjauhkan aku dari Tuhan, serta dia mampu membantu dan ada disaat
aku susah dan senang, itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk aku akan
menjadikan dia teman dalam pergaulan.” Dan andaikan kalian tahu, apa
yang aku pikirkan itu, aku dapatkan saat aku berteman yang kebanyakan dengan
laki-laki, tapi ingat aku juga memiliki teman perempuan meski tak sebanyak
teman lelaki ku.
Dan aku rasa ini poin terpenting tentang latar belakang aku menulis
postingan ini. Aku : seorang perempuan
umur 18 menuju 19 tahun dengan sikap extrovert yang lebih tampak meski
sebenarnya aku seorang ambievert dengan kadar dopamine yang agak sedikit
berlebihan, tengah kuliah dan memasuki semester 4, hobby membaca dan menulis
apa saja. Terutama aku sangat menyukai puisi dan sajak-sajak. Mungkin disini
lah permulaan yang aku kira mengapa sebagian besar orang menganggap aku “perempuan yang sedikit bebeda”.
Aku memang menyukai menulis. Bagiku selain Tuhan dan diri ku
sendiri, tak ada orang yang benar-benar paham tentang pemikiran dan siapa aku
sebenarnya, selain buku dan tulisan. Aku memang sedikit agak lebih berani
ketika harus berbicara tentang hal-hal tabu seperti salah satunya mengenai seks
atau kekerasan atau tentang cinta seorang perempuan yang sebaiknya disimpan
saja, atau kesetaraan gender atau mungkin hal-hal lain. Ya mungkin di zaman
sekarang permasalahan yang aku sebutkan tadi memnag tidak terlampau tabu,tapi
masih dianggap agak tabu. Aku sebagai perempuan yang belum terlalu dewasa
terkadang malah membicarakan mengenai seks seenteng ku saja. Menbiacarakan hal
ini tentu dalam kontek pembelajaran bukan tentang “esek-esek udug-udug” dan
fantasi aneh tentang seks. Tidak sama sekali.
Contohnya aku senang memilih bacaan yang sebenarnya wajar namun
dianggap nyeleneh. Seperti aku pernah membaca buku tentang budak seks saat
pemerintahan imperialism Jepang, suatu istilah Jugun Iufun yang aku dapatkan
dan menambah wawasan. Tentang bagaimana perempuan-perempuan muda pada zaman itu
mengalamai nasib yang tidak terlampau beruntung dibanding kami yang sudah hidup
di zaman merdeka meski edan. Buku yang
berjudul MOMOYE, namun ada sebagian
yang beranggapan “kamu itu hobby sekali
baca yang ada kaitan tentang seks” atau contoh lainnya. Aku sedang membaca
novel dengan judul ENTROK atau
bahasa umumnya yang kita kenal adalah BH.
Seperti percakapan singkat pagi ini : Judulnya
apa Put ? Entrok, ku jawab. Apa tu ? BH, ku jawab singkat. Aku hanya mendapat
gelengan kepala dengan senyum kecut dari yang bertanya. Ayolah, jangan
nilai sesuatu dari covernya. Isi nya tidak sevulgar itu dan malah mengajari
kalian lebih dekat dengan Tuhan dan berbuat baik sesuai norma dan dogma. Atau
aku yang membaca kumpulan novel dengan judul PETUALANGAN CELANA DALAM. Ya aku tahu, kebanyakan buku yang aku
baca dan yang kalian lihat judulnya memang agak nyeleneh tapi percayalah isi
nya jauh lebih bermakna dari novel cinta yang sering sekali kalian baca. Bukan
kah ini soal selera ? jadi tolonglah, jangan seolah-olah menghakimi dengan
tatapan, senyuman kecut, atau gelengan prihatin tiap kali kalian bertanya tentang
apa yang aku baca. Kebetulan saja saat kalian melihat ku membaca, judul yang
aku baca agak nyeleneh. Atau mungkin, kalau aku kesal dengan kalian mungkin
saja akan ku baca JANGAN MAIN-MAIN
DENGAN KELAMINMU di depan kalian saudara-saudara ku. Sekali lagi ini masalah
selera, jika kalian suka novel cinta atau buku yang itu-itu saja ya itu selera
kalian. Sedang aku malah menyukai sesuatu dengan kiblat lain. Analogi nya,
kalian suka ikan bakar aku suka ayam goring. Simple ?
Kemudian, aku akui bahwa aku memang agak kurang waras dan agak
kurang sopan dalam menulis sajak atau puisi tapi ini hanya sesekali. Tapi sesekali ini cukup membuat aku dihakimi
sebagai seorang sarkasme dan seseorang yang terlampau “berani” dalam menulis. Dan
satu hal lagi yang aku dapatkan dari penghakiman : “tidak baik perempuan menulis terlampau berani seperti itu”.
Awalnya aku marah dan malah sakit hati. Aku tidak terima dikatakan seperti itu.
Masa sebuah karya yang aku ciptakan malah dikata-katai tidak sopan, tidak
bermakna, aneh, vulgar, dan binal ? Siapa yang tidak sakit hati kala itu.
Namun, setelah aku pelajari lebih jauh, aku tidak sendirian menulis mengenai
hal-hal yang masih dianggap tabu. Aku mengenal Djenar Maesa Ayu, aku mengenal
Ayu Utami, aku mengenal Pranita Dewi, aku mengenal Seno Gumira Adjidarma, aku
mengenal banyak sekali orang-orang yang lebih tidak waras dariku. Dan aku juga
menyadari bahwa aku telah memilih kiblatku dalam menulis. Aku memilih kiblat
dengan aliran feminism dan aliran sastra wengi. Dan percaya atau tidak, jika
kau pernah membaca karyaku yang mungkin saja kalian katakan agak nakal, itu
belum seberapa dibanding guru ku di kiblat yang sama ini. Kembali lagi, ini soal selera,ini soal pilihan. Kita
tidak berhak menghakimi seseorang atas pilihannya bukan ? Ya, dalam hati pun
aku berjanji akan belajar lebih rajin, biar karya yang aku lahirkan dan diksi
yang aku gunakan tidak terlampau dipandang dengan mata yang agak
disipit-sipitkan itu.
Terakhir, sebagai seorang penulis (seseorang yang sedang senang dan
belajar menulis.red) yang jujur dan terbuka serta sedikit gila, aku menulis apa
saja dan dalam bentuk apa saja tentang apa yang sedang aku rasakan. Salah satu
contohnya adalah tulisan ini. Kutanyakan padamu, dimana letak salahnya saat aku
menuliskan perasaan ku ? Atau dimana salahnya jika aku menulis perasaanku di
blog lalu mempostingnya dan aku biarkan semua orang membaca nya ? Dimana letak
salahnya ? Dan aku kira, apa yang aku tuliskan di blog ini diksinya lebih sopan
dan santun ketimbang puisi dan sajak binal (katanya) yang aku tuliskan. Lalu
salahnya dimana ? Oh, atau mungkin kau mempermasalahan tentang perasaan ku
kepada seorang laki-laki, lalu aku menuliuskannya, dan mengumbarnya ? Begitukah
? Kau menganggap ini sebuah penurunan harga diri perempuan, sebab perempuan yang
baik itu kalau memiliki perasaan cukup dipendam dan disimpan saja, bukannya
ditulis dan diposting, begitukah ? Setidaknya aku sudah jujur. Mengungkapkan
apa yang aku rasakan pada seseorang. Aku kira ini bukan masalah penurunan harga
diri seseorang perempuan. Hanya sebuah bentuk kejujuran kepada perasaan bahwa
aku sedang menyayangi seseorang. Toh, sebagai perempuan yang normal, setelah
mengungkapkan perasaanku kepadanya aku malah menangis dan merasa malu jika harus
bertemu dengannya. Sekarang, yang ingin aku tanyakan lagi adalah lebih rendah
mana harga diriku, seorang perempuan yang jujur atas perasaannya atau harga
diri seorang perempuan yang mau dipegang ini itu oleh seseorang yang belum jadi
suaminya ? Secara teori kalian katakan bahwa aku lebih terhormat. Tapi realitanya,
kalian malah memandangku sebagi perempuan aneh, terlampau agresif dan tidak
punya harga diri sebab menyatakan perasaan ku kepada seorang laki-laki. Tapi
kalian malah memaafkan bahkan menganggap lumrah harga diri perempuan yang rela
dipegang-pegang ini itu oleh laki-laki yang belum tentu jadi suaminya sebab
perempuan itu tidak menyatakan perasaannya tapi menerima perasaan laki-laki.
Hal yang wajar bagi seorang perempuan. Menunggu seseorang menyatakan cintanya
bukan malah menyatakan cinta nya kepada seseorang.
Terkadang norma dan dogma
yang diciptakan malah tidak waras atau akulah yang memang tidak waras. Aku memang bukan perempuan baik tapi aku selalu belajar dan
berusaha jadi perempuan baik. Aku memang pulang malam, tapi bukan huru-hara
bersama laki-laki sambil pegang sana sentuh sini. Aku memang banyak bergaul
dengan laki-laki tapi bukan atas nama birahi, tapi dengan ilmu dan diskusi. Aku
memang terlampau blak-balakan tentang sesuatu, terkesan nakal dan binal, tapi
bukan kah itu lebih baik daripada aku pura-pura menjadi baik tapi pada
kenyataan nya aku malah lebih bejat. Aku memang menulis, tapi aku memilih jalanku
sendiri. Aku memilih untuk menyatakan perasaanku bukan aku tidak punya malu
atau harga diri, aku hanya mencoba untuk lebih berani dan jujur pada diriku
sendiri, meski ku tahu orang lain tak akan peduli dan hanya menganggap aku beralibi
tenatang apa yang aku katakan tadi. Lalu kau masih mengatakan aku bukan
perempuan baik ? Coba kau lihat ke cermin terlebih dahulu, kemudian kau
ingat-ingat apa yang sudah kau lakukan selama ini kepada anak gadis ayahnya. Dan
kau masih mengatakan aku perempuan yang kurang baik ? Kalau aku kurang baik,
lalu perempuan-perempuan itu bagaimana ? Hahahahahaha.
“Jadilah perempuan baik versi dirimu sendiri, versi
norma dan dogma, serta versi agama yang kamu anut. Jika kamu ingin menjadi
perempuan baik versi mereka, kamu tak akan bisa. Sebab kamu perlu menjadi baik
sebanyak 7.000.000.000 lebih versi”
Tersentuh bg bacanya :')
BalasHapus