Jumat, 25 November 2016

Selamat Hari Guru

Hari ini adalah hari Jumat, tidak ada yang spesial selain Jumat adalah hari yang penuh berkah. Hari ini adalah tahun ketiga saya kuliah. Saya sudah semester lima, dan sebentar lagi semester enam. Waktu terkadang memang terasa singkat sekali. Rasa-rasanya baru beberapa hari yang lalu saya memakai baju putih biru dengan rambut kepang dua dan botol minum yang dikalungkan dileher, tas Barbie warna pink yang dilengkapi roda yang kala itu dibelikan Papa di Jakarta, dan tidak lupa sepatu hitam mengkilap yang disemir dengan Kiwi serta sebuah kertas dengan tulisan “PUTRI” yang ditempel di dasi. Hari pertama saya masuk TK. Sungguh tidak terasa sama sekali, sekarang saya malah sudah jadi perempuan dewasa tanpa seragam dan pandai memakai gincu warna merah.
Saya juga masih ingat ketika saya meakai baju pramuka di hari Sabtu dan maju kedepan sebagai juara 2 saat penerimaan lapor kelas 1 di SD. Saya ingat, saya pernah diusir pulang karna tidak membuat PR MTK, padahal dua hari lagi saya akan pindah sekolah. Saya juga ingat telapak tangan saya kebas saat dipukul rol kayu panjang karna buku saya ketinggalan dan semua orang tidak ada di rumah. Saya juga ingat saat saya kelas 4, dan saya mengikuti upacara bendera di sekolah SD yang baru karna saat lulus program akselerasi. Kala itu, Senin panas sekali dan kami berdiri dibarisan yang paling sedikit jumlah siswanya dalam satu kelas. Saya ingat ketika selepas menerima rapor di sekolah baru, saya kembali ke sekolah lama dan menunjukan hasilnya. Saya ingat kepala saya yang dielus penuh kasih sayang dan setiap 10 ribuan yang saya terima untuk setiap angka 9. Saya ingat, ketika saya membaca seluruh cerpen di buku Bahasa Indonesia dan menelpon seorang perempuan di wartel dengan biaya Rp1.700 saat sore sebelum saya mengaji untuk membacakan puisi tentang kelapa dan tentang perempuan itu. Saya juga ingat ketika saya disuruh menuliskan nama George W Bush, presiden Amerika kala itu yang berkunjung ke Indonesia yang disambut unjuk rasa. Saya ingat sekali, kala itu saya kelas 5 atau kelas 6.
Saya ingat, saat saya memakai baju merah putih dengan topi ulang tahun setinggi 40 cm yang dibuat dari karton dan dilapisi mar-mar hijau. Kami berbaris di lapangan basket SMPN 1 Payakumbuh sebagai siswa baru. Saya ingat ketika saya berbohong kepada guru biologi saya saat SMP kelas 1. Saya mengatakan bahwa saya sudah sholat, padahal sebenarnya belum. Kemudian saya didoakan bala, tapi saya cepat-cepat mengaku. Lalu saya ingat, pada  saat saya masih menangis sesenggukan di kantor majelis guru karna saya tidak lulus seleksi Olimpiade Kimia saat saya kelas 11 SMA. Saya ingat saya pernah diajarkan getaran dan listrik saat saya kelas 12 tapi saya masih remedi untuk UH fisika. Saya ingat saya pernah diusir (lagi) saat pelajaran Biologi saat kelas 12 oleh kepala sekolah karna saya terlambat masuk. Saya ingat ketika saya memeluk seorang perempuan sebelum saya meninggalkan SMA sambil menangis. Belum lama ini saya ingat ketika saya dipeluk dan didengarkan bercerita tentang apa saja saat saya sudah dewasa seperti sekarang. Saya ingat setiap hal yang bermakna dalam hidup saya karena guru-guru saya.
Saya tidak ingat kapan persisnya saya ingin jadi guru. Saat saya belum sekolah saya katakan saya ingin jadi pelukis, karena tetangga saya disebelah rumah dia ingin jadi pelukis. Jangankan melukis, menggambar tanpa unsur abstrak pun saya tidak bisa. Lalu saat saya SD saya katakan saya ingin jadi dokter. Alasannya masih sama, karena tetangga saya disebelah rumah dia ingin jadi dokter. Tidak ada alasan khusus. Tapi guru-guru saya kala itu mendukung saya jadi dokter. Katanya, saya mampu jadi dokter karna saya pintar dan dokter itu banyak duitnya. Tambah yakin saya menjadi dokter saat ditanya ingin jadi apa semasa umur saya belum genap 10 tahun. Saya lulus SD setelah lima tahun memakai baju merah putih di dua sekolah dasar yang berbeda. Kala itu saya masih ingin jadi dokter. Seperti yang saya katakan diawal, saya tidak ingat kapan saya ingin jadi guru dan kenapa ingin jadi guru. Tapi semasa SMP kelas satu, saat saya ditanya ingin jadi apa saya menjawab ingin jadi guru. Tidak ada alasan khusus tapi saya ingin jadi guru, tepatnya jadi guru fisika. Saat saya pertama kali tes wawancara sebelum masuk SMA, jawabannya masih sama saya ingin jadi guru, guru fisika.Fisika kala itu mudah sekali dan saya menyukainya benar-benar. Namun semuanya berubah saat saya mengenal fisika di SMA, terasa mengerikan sekali. Meskipun fisika terasa mengerikan, tapi saya masih tetap bertahan jadi ingin jadi guru, dan saya masih belum menemui alasan khusus kenapa saya ingin jadi guru. Saya mulai menyukai Bahasa Indonesia. Saya mulai menyukai puisi dan saya mulai menulis, meskipun puisi saya kala itu masih sederhana sekali. Saya mulai menyukai cerpen, saya mulai rajin mengunjungi pustaka dan meminjam buku kumpulan cerpen dan puisi. Lalu saya mulai jatuh cinta dengan sejarah, terlebih tentang perjuangan kemerdekaan dan sejaran dunia. Rasanya saya sedang mempelajari hal oenting yang pernah terjadi di dunia
Saat saya kelas 11 ada suatu kejadian yang meneguhkan hati saya untuk menjadi seorang guru dan saya menemukan alasan mengapa saya ingin menjadi guru. Hari itu kami belajar sejarah tentang pendudukan Jepang di Indonesia. Salah seorang teman saya bertanya tentang politik Hako Ichiu kepada mahasiswa PPL kala itu yang didampingi guru sejarah saya. Mahasiswa tersebut hanya diam dan tersenyum. Pertanyaan itu tidak terjawab oleh mahasiswa tersebut dan guru sejarah saya menjelaskannya. Beberapa saat kemudian saat sesi tanya jawab yang berlangsung ringan, saya bertanya kepada mahasiswa PPL tadi : “Pak, kenapa Bapak ingin jadi guru ?” Beliau menjawab bahwa sebenarnya beliau tidak ingin jadi guru. Beliau hanya kuliah di juruusan tersebut karena beliau hanya lulus disana dan jurusan tersebut adalah jurusan pada pilihan ketiga. Dan satu hal yang menyentil hati saya adalah beliau berkata : “Saya terpaksa untuk jadi guru, meskipun saya tidak ingin jadi guru” Guru sejarah saya hanya tersenyum dengan makna yang sangat dalam sekali. Saya terdiam dan saya langsung mengangkat tangan sambil berbicara : “ Jika semua calon guru yang ada hanya sebatas keterpaksaan,berarti generasi penerus bangsa hanya akan diajar oleh orang-orang yang terpaksa bukan oleh orang yang sepenuh hati ingin mengajar. Mau jadi apa anak-anak kita jika gurunya saja sudah terpaksa. Kapan majunya Indonesia” (tentu kata-katanya tidak seperti itu, terlalu dewasa :D) Guru sejarah saya menatap saya sambil tersenyum, mahsiswa PPL tadi memandang saya, senyumnya kecut dan terkesan dipaksakan. Nampak ia tengah menahan diri untuk tidak marah pada siswa kelas 11 yang secara tidak langsung memepermalukan dirinya. Seisi kelas terdiam dan saya dipukul teman saya untuk bisa menjaga omongan.
Sejak hari itu saya menemukan alasan yang kuat kenapa saya ingin jadi guru. Saya menginginkan perubahan. Saya ingin bisa meberi manfaat. Saya ingin memajukan pendidikan dengan segenap kemauan hati saya tanpa paksaan. Mencerdaskan kehidupan dimasa yang akan datang adalah suatu impian yang harus saya wujudkan. Saya juga ingin membuat orang lain ingn jadi guru, kerena guru bisa segala nya. Seperti saat menangis sesenggukan di kantor majelis guru karna saya tidak lulus seleksi Olimpiade Kimia, wali kelas saya menguatkan saya dan mengajarkan saya bahwa tidak setiap hal yang saya inginkan mesti tercapai. Beliau mengajarkan saya ilmu jiwa, beliau mengajarkan saya ilmu kehidupan, bukan sekedar tentang to be dan vocabulary Bahasa Inggris. Miss Erna, I always remember this part in my life. Saya juga ingat ketika seorang perempuan mengajarkan saya percaya pada apa yang saya sukai. Beliau selalu mengajarkan kebahagiaan dalam menghadapi segala meski sebenarnya sulit. Beliau mengajarkan saya untuk tersenyum dalam segala keadaan, beliau mengajarkan saya untuk percaya pada apa yang saya yakini. Sampai sekarang Buk Wenti, saya ingin menjadi “amak” yang lebih hebat dari “amak saya sendiri” suatu hari nanti.
Saat saya SMP, saya diajar untuk jujur. Meski saya harus diancam dengan doa bala terlebih dahulu, perempuan ini berhasil membuat saya tidak pernah meninggalkan Tuhan sekalipun dan menjadikan Tuhan sebagai segalanya. Terimakasih Ibunda Asma Murni. Sejak lulus SMP, saya belum pernah bertemu beliau lagi. Berarti sudah hampir 5 tahun lebih saya tidak bersua beliau. Dan satu hal yang ingin ssaya sampaikan kepada beliau adalah saya berhasil mewujudkan impian beliau yaitu dengan menjadi (calon) guru biologi.
Saya tidak akan seperti sekarang tanpa guru-guru saya semasa saya sekolah dan guru-guru saya di perguruan tinggi. Terimaksih untuk seluruh guru saya di TK Handayani, yang mengajarkan saya huruf dan angka. Guru saya di SDN 04 Sicincin Mudik yang selalu memuji saya. Kepada guru-guru saya di SD 11 Padang Tangah Payobadar, spesial untuk Ibuk Gus yang percaya pada puisi masa kecil saya sehingga saya pun masih percaya pada puisi samapai sekarang. Terimakasih kepada guru-guru saya di SMPN 1 Payakumbuh. Terutama Ibu Asma Murni yang mebuat saya tidak pernah lupa pada Tuhan, Ibuk Nelly Metrina yang membuat saya jatuh cinta oada fisika, pun demikian pada Ibu Mulda Hefti yang cantik dan pintar mengajar fisika. Terimakasih pada guru-guru saya di SMAN 2 Payakumbuh. Spesial untuk Miss El selaku amak cantik saya, Miss Erna yang mengajarkan saya untuk kuat dan lapang dada, untuk Ibuk Wenti yang mengajarkan ilmu berbahagia, terimaksih Pak Manto yang sudah mengajarkan fisika meski daya tidak pernah engerti benar-benar, kepada seluruh guru yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Saya bahagia dan bersyukur Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang yang luar biasa. Saya sudah semestar 5 dan InsyaAllah tidak lama lagi wisuda. Terimaksih atas segala hal yang luar biasa kepada seluruh guru hidup saya, kepada orang-orang yang menginspirasi saya. Spesial untuk Ibu Mariani Natalina Linggasari, terimakasih untuk segalanya. Untuk terus memotivasi dan menginspirasi dan untuk terus mengajarkan ilmu-ilmu baik dalam kehidupan. Semoga sampai kapanpun Ibu selalu dilindungi dan diberkahi Tuhan.
Menjaddi guru bukanlah suatu hal yang tabu, bukan suatu hal yang memalukan, bukanlah suatu hal yang remeh. Tanggung jawab menjadi seorang guru sangatlah besar, sebab maju atau tidaknya suatu peradaban tergantung bagaimana kualitas pendidikannya. Perkembangan daya pikir dan kedewasaan jiwa adalah hal lain yang menajdi tanggung jawab guru. Tidak akan ada orang-orang hebat tanpa ada seseorang yang mengajarkannya. Saya ingin lebih banyak berbagi, saya ingin mengajar, saya ingin mendidik, dan saya ingin beribadah sepanjang hayat dengan menjadi guru. Guru itu spesial. Ia bisa menjadi kawan, sahabat, orang tua, dan orang yang hebat. Guru itu mesti cerdas dan pintar. Guru itu harus selalu mengerti tentang apa yang ia lakukan. Kepada kawan-kawan calon pendidik masa depan, semoga kita bisa menjadi guru yang sebenar-benarnya. Mampu menciptakan generasi yang unggul tanpa cacat laku. Menanamkan ilmu-ilmu luhur dan kebaikan yang tidak habis-habisnya. Semoga saat kita mati suatu hari nanti, selalu ada yang mengenang t ntang apa yang sudah lakukan. Terakhir, guru bukan hanya orang yang berdiri di depan kelas dan memberikan materi pelajaran, namun guru adalah setiap orang yang memberi makna yang lebih dalam hidup kita. Selamat Hari Guru. Teruslah berkarya dan memanjukan kehidupan bangsa.


Minggu, 20 November 2016

DONGENG KANAK-KANAK DAN IBU

Dua minggu sudah terhitung sejak hari itu. Selama itu pula saya belajar banyak hal tentang pengendalian perasaan, emosi, ketegaran, kepura-puraan, bersikap wajar dengan basa-basi, belajar untuk sabar dan mengikhlaskan, dan yang jelas belajar untuk lebih bersikap dewasa atas segala hal yang terjadi. Akhir-akhir ini sepi sekali. Perlahan satu-satu mulai pergi. Perlahan satu-satu mulai meninggalkan. Sejujurnya saya lebih menyukai sepi ketimbang suasana ramai, tapi saya paling tidak suka kesepian. Saya suka sendiri tapi tidak sendirian. Saya sadar setiap hal yang datang pasti akan pergi. Tapi yang saya herankan apakah memang harus selalu demikian ? Termasuk tentang hubungan baik ? Memang, hak setiap orang untuk pergi dan tinggal tapi disamping itu ada juga hak orang lain untuk bertahan dan meminta kejelasan. Saya bisa mengatakan saya baik-baik saja, tapi tidak untuk setiap saat. Kadang saya memang benar baik-baik saja, namun banyak kacaunya, banyak menungnya, banyak resahnya.
Saya jadi teringat dengan pertanyaan saya kepada seseorang penyair perempuan : “ Kak, apa alasan kakak untuk menulis ? Beliau menjawab kira-kira  begini : “Dik, menulis itu membebasakan diri dari kesepian.” Lalu saya juga bertanya kepada seseorang yang lain : “Bang, menurut abang puisi itu apa ?” Katanya : “Puisi itu kejujuran, Put. Disanalah kita bisa jujur terhadap apa saja.” Untuk orang-orang yang bertanya mengapa saya selalu menuliskan apa yang saya rasakan. Saya hanya lelah untuk bercerita kepada manusia. Manusia itu semua nya sama saja, terlampau sering khilaf dan terlampau pandai. Manusia terlampau pandai untuk berpura-pura tulus, berpura-pura peduli dan berpura-pura mencintai. Manusia juga terlampau pandai memberikan kata-kata dan janji. Saya cuma lelah untuk bercerita tentang dongeng-dongeng kepada orang-orang pandai. Apalagi dongeng yang saya ceritakan pada akhirnya cuma dianggap sebagai cerita anak-anak. Ah, mungkin memang benar. Dongeng kurang cocok  untuk orang-orang yang berbicara dengan dan tentang fakta. Dongeng bukan untuk orang dewasa. Dongeng hanya untuk kaum bisa mempercayainya.  Saya seorang pendongeng amatir. Tidak ada yang percaya dongeng yang saya ceritakan selain tiang listrik, jalan raya, aspal, lampu, genangan air setelah hujan, air dalam baskom, langit yang saya pandangi dari atas atap, angin, dan beberapa orang-orang yang mempercayainya. Lagi pula yang paling paham dongeng yang saya ceritakan cuma Tuhan dan tulisan. Maka dari itu mengapa saya senang menulis jika saya sedang ingin bercerita. Saya merasa bebas, saya merasa tidak sendirian, saya tidak kesepian dan saya bisa jujur untuk menceritakan apa saja kepada orang-orang dewasa yang ingin tahu dan sedikit mempercayai cerita-cerita saya.

***
Tadi malam saya menelpon Ibu dan mengatakan bahwa saya sedang patah hati. Ibu bilang patah hati itu hal biasa, tidak usah terlampau dipikirkan. “Belajarlah dari Ibu”, Ibu bilang demikian. Saya malah jadi sedih sendiri. Rasa-rasa nya saya terlampau lemah menjadi perempuan saat saya mengadu patah hati kepada ibu. Ibu selalu tegar, mengapa saya tidak bisa mencoba untuk sedikit tegar ? Ibu selalu kuat, mengapa saya tidak mencoba untuk sedikit lebih kuat ? Saya  sering mengatakan bahwa perempuan harus kuat, tapi kenyataannya malah saya yang tidak bisa untuk kuat. Malu sendiri saya jadinya. Rasa-rasanya saya masih belum bisa dewasa barang sedikit. Sebenarnya saya tidak pernah bercerita kepada Ibu tentang orang itu secara lengkap-lengkap, hanya potongan-potongan cerita yang itu pun tidak banyak. Saya tidak pernah menyebutkan nama orang itu kepada Ibu, tapi adik saya sering meneriaki namanya lengkap saat saya sedang di rumah. Ibu seolah-olah tidak tahu, tapi saya rasa ibu tahu segalanya. Ibu lebih tahu tentang saya tanpa saya sadar. Ibu tidak banyak berkomentar saat saya bilang saya patah hati. Ibu malah bertanya keadaan saya setelah dua minggu lalu saya habis terjatuh. Apakah luka saya sudah sembuh ? Ibu malah menyuruh saya belajar lebih giat, ibu menyuruh saya untuk tidak terlampau boros dalam berbelanja. Ah, Ibu terkadang saya malu sendiri.
Kalau saya boleh bercerita lagi, Ibu membiarkan saya jatuh cinta. Syaratnya cuma satu, saya bisa menjaga diri. Namun ada satu syarat yang tidak Ibu katakan tapi diam-diam Ibu harapkan. Semoga saya tidak merasakan apa yang pernah Ibu rasakan. Saya mengAamiin-i nya. Namun sayangnya, saat ini saya malah merasakan hal yang sama meski dengan keadaan yang jauh lebih ringan. Ah, Ibu saya tahu bagaimana rasanya ternyata. Saat ini saya cuma bisa tersenyum menuliskan hal ini. Tuhan memberikan saya ibu yang kuat sekali lahir batinnya. Saya  rindu kepada Ibu. Saya rindu sekali. Saya rindu makan masakan Ibu, saya rindu dimarahi karna saya cuma menghabiskan seharian penuh untuk duduk di depan laptop dan menonton anime, saya rindu berdebat dengan ibu, saya rindu cerita-cerita ibu, saya rindu saat Ibu menyuruh saya mencabuti ubannya yang sebenarnya tidak seberapa dan saya mencoba mencoba menolaknya dengan berbagai alasan. Ah, saya rindu Ibu. Benar-benar rindu sekali rasanya.

Ibu, saya masih belum benar-benar tegar, tapi setidaknya ada sedikit yang membuat saya lebih membaik setalah saya menelpon ibu tadi malam. Meskpiun saat ini saya masih rindu kepada orang itu, meskipun saya belum bisa baik-baik saja sepanjang hari, meskipun saya masih labil sekali, setidaknya Ibu sudah menyuruh saya untuk lebih kuat sebagai perempuan. Perempuan memang demikian. Ia lebih sering menangis, ia lebih sering resah, ia lebih sering merasa bersalah,  dan ia lebih sering menggunakan perasaan. Saya pernah menanyakan apa yang anda ketahui tentang perempuan. Namun, satu hal yang pasti adalah perempuan itu sebenarnya diciptakan lebih kuat ketimbang lelaki, terlebih mengenai perasaan~

Sabtu, 12 November 2016

MUTUNG

Aku hanya bisa terdiam
Melihat kau pergi dari sisiku
Dari sampingku
Tinggalkan aku seakan semuanya
Yang pernah terjadi
Tak lagi kau rasa
r
Tuan, ceritakanalah kepada saya tentang apa-apa yang engkau ketahui mengenai perempuan dan saya akan mendengarkan sampai usai dan sampai. Kala itu hari Rabu. Satu hari sebelum ibu berumur 45 dan cuaca baik-baik saja. Matahari tidak terlampau terik, juga tidak mendung. Awan bergumul tapi tidak sampai birahi. Agak sedikit kehitam-hitaman memang, hanya saja tidak sampai hujan, setidaknya belum. Tuan, ceritakanlah kepada saya tentang apa-apa yang engkau ketahui mengenai perempuan dan saya akan mendengarkan sampai usai dan sampai. Namun, sebelum engkau bercerita, izinkanlah saya mengisahkan satu kisah lama dan usang. Tidak apa-apa jikalau Tuan bosan. Kebosanan memang fitrah manusia. Kebosanan terhadap hidup, tapi tidak dengan takdir. Kebosanan terhadap nasib, tapi tidak dengan perasaan. Alangkah lebih menyenangkan jika percakapan ini ditemani beberapa bungkus rokok. Saya kira Tuan akan membutuhkannya. Dan juga setumpuk catatan harian tentang sajak-sajak serta buku. Kalau boleh, pesankan saya satu kaleng bir. Orang-orang bilang rasanya nikmat dan bir mampu melawan takdir meski sebentar sekali. Djenar juga bilang, kita bisa memesan bir tapi kita tidak bisa memesan takdir. Tuan, pesankanlah saya satu kaleng bir untuk menahan takdir.
Tak pernah sedikit pun
Aku bayangkan betapa hebatnya
Cinta yang kau tanamkan

Selamat siang. Kira-kira satu setengah tahun. Cukup lama atau cukup singkat kah ? Sepanjang waktu banyak sekali kejadian, peringatan, kebahagiaan, kesedihan, kebingunggan, kehampaan, kehilangan, ketidakjelasan, umpatan, dan kenangan. Saya tidak akan menceritakan, bagian ini terlampau membosankan. Sungguh. Tapi, sebentar Tuan, kita berkenalan kembali belum terlampau lama bukan ? Kita pernah berkenalan sekali lalu berpisah. Beberapa minggu yang lalu kita kembali bertemu dan berkenalan lagi dan mungkin akan berpisah lagi, meski saya sendiri tidak ingin. Ada perubahan pada diri Tuan. Tuan lebih ramah dan lebih romantis ketimbang dulu. Sejujurnya saya suka Tuan yang sekarang, namun saya benci perubahan. Tuan tidak seharusnya berubah. Seperti yang dulu itu saja, sudah. Tidak ada yang perlu dirubah, Tuan. Perubahan hanya untuk kaum bar-bar, dan untuk saya salah satunya. Sebab antara saya dan inlander yang katanya bar-bar tidak terlampau jauh berbeda, khususnya tentang hidup. Saya memnag butuh perubahan seperti yang Tuan katakan diperjumpaan kita yang kedua. Sejujurnya, saya terkejut dengan perubahan Tuan. Saya tidak tahu kenapa Tuan bisa berubah demikian. Saya betul-betul tidak tahu, setidaknya sampai hari Rabu. Saat satu hari sebelum ibu berumur 45 dan cuaca baik-baik saja. Oh Tuan, sungguh saya sudah menduga dari awal. Sisi perempuan saya masih bekerja sebagian dan rusak sebagian. Saya katakan demikian karena apa yang saya duga ternyata benar. Berarti sisi sensitif perempuan saya bekerja. Sayangnya, apa yang saya percaya ternyata salah. Disitu saya merasa keperempuanan saya rusak sebagian. Kalau Tuan ingat, saya pernah bertanya seperti ini. “Tuan, apakah salah jika saya mempercayai suatu hal ?” Tuan katakan tidak. Dan saya pun memepercayai apa yang saya percayai. Nyata-nyata nya perempuan juga bisa salah. Saya hanya terdiam, ketika apa yang saya percayai tidak seperti yang saya percayai. Ah, jancuk !!

Hingga waktu beranjak pergi
Kau mampu hancurkan hatiku


Tuan, ceritakanalah kepada saya tentang apa-apa yang engkau ketahui mengenai perempuan dan saya akan mendengarkan sampai usai dan sampai. Tuan, saya kira anda sangat paham bahwa perempuan senang dibohongi, tapi marah bila tahu ia sedang dibohongi. Saya kurang lebih seperti itu juga. Saya suka dongeng,saya suka cerita. Saya menyukai kebohongan dan hal-hal yang dibuat-buat bila tidak tentang perasaan, Tuan. Jangan potong saya dulu, saya perempuan. Harus didahulukan berbicara. Anda mungkin bertanya mengapa perempuan melulu mambawa perasaan. Hanya sebab satu hal, Tuan. Tuhan menciptakan perempuan lebih jauh kuat ketimbang lelaki, terlebih pada perasaanya. Jangan salahkan pernyataan saya, saya perempuan. Tidak boleh disalahkan apalagi disalah-salahkan. Jawablah, Tuan. Atau saya akan menangis.Tapi tunggu, anda pernah mengatakan bahwa saya tidak boleh cengeng, saya tidak boleh menangis. Saya dilarang menagis diluar pelukan, Tuan. Oh jancukku, pernyataan macam apa itu, sayang ? Saya kira Tuan tidak sadar pernah berkata demikian. Saya berterimaksih karna Tuan selalu berusaha membuat saya tersenyum akhir-akhir ini, meski Tuan berbohong kepada diri Tuan dan kepada saya. Saya tidak marah, Tuan. Saya tidak kecewa. Saya hanya sedikit kesal, mengapa Tuan berbohong, sedang Tuan melarang saya berbohong.
Ada yang hilang dari perasaanku
Yang terlanjur sudah
Kuberikan padamu
Ternyata aku tak berarti tanpamu
Berharap kau tetap di sini
Berharap dan berharap lagi


Tuan, saya hanya salah seorang perempuan yang memiliki perasaan yang berlebih kepada Tuan.  Saya pun tidak pernah merencanakan untuk bertemu Tuan, apalagi sampai memiliki perasaan. Rasa-rasanya saja sudah ampun saya. Dari awal, saya cuma ingin menyampaikan nya saja. Bukan minta balasan. Jangan dibalas, saya belum butuh itu sekarang. Kalau nanti ? Oalah, jalan hidup kita masih panjang. Bisa saja ada orang lain yang membalasnya. Tuhan tahu yang terbaik buat kita. Tuan juga pernah mengatakan hal itu.  Tuan, jangan dibalas, bila tidak ingin. Perasan itu bukan tanah jajahan, ia tidak bisa dipaksa. Perasaan itu sakral, Tuan. Jangan dibongi, jangan dipaksakan, dan jangan dipermainkan perasaan Tuan sendiri. Tuan pernah bertanya kepada saya tentang hal yang saya inginkan dari Tuan. Saya akan menjawabnya sekarang. Saya hanya ingin Tuan bahagia. Tidaka ada selain itu yang saya minta. Tuan, ceritakanalah kepada saya tentang apa-apa yang engkau ketahui mengenai perempuan dan saya akan mendengarkan sampai usai dan sampai.

Sabtu, 05 November 2016

MAAF, PA

Sudah satu bulan saya tidak menulis apa-apa. Banyak hal yang sebenarnya ingin saya tuliskan, namun karena beberapa hal, saya tidak jadi-jadi menulis. Tulisan kali ini saya tujukan kepada Bapak. Sebuah tulisan permintaaan maaf yang seharusnya bukan saya tuliskan, tapi saya sampaikan.
Akhir-akhir ini hidup saya sangat berantakan. Saya tidak pernah tidur dengan terartur, cucian yang menumpuk, kamar yang berantakan, tugas terbengkalai, deadline dimana-dimana, janji-janji yang menguap, sungguh hidup saya jauh dari keteraturan. Pa, saya selalu pulang malam. Saya mengahbiskan setidaknya 12 jam waktu saya, setiap harinya di luar. Saya tidak pernah magrib di rumah. Saya jarang membaca buku pedoman hidup dan parahnya saya tidak terlampau memperdulikan kemesraan dengan Tuhan. Pa, saya kacau. Hari-hari saya terasa begitu-begitu saja. Saya banyak resah dibanding bahagia. Saya tahu penyebabnya karna saya menjauh dari Tuhan. Tapi Pa, mengapa saya harus menjauh dari Tuhan ? Saya tidak tahu alasan pastinya yang jelas saya merasa sangat jauh. Meski, kewajiban saya tetap saya lakukan, tapi banyak hal-hal yang biasanya saya lakukan, malah tidak saya laukakn sama sekali. Untuk hal yang pertama saya sungguh minta maaf, Pa. Saya menjadi perempuan yang jauh dari Tuhan.
Kemaren Oktober. Dan Pa, tahukah engkau bahwa satu hal yang saya kutuki samapai sekarang ? Bahwa saya melewati Oktober tahun ini tanpa cinta sama sekali kepada sajak-sajak. Oktober ini tidak ada puisi, tidak ada pembacaannya. Oktober tahun ini berjalan tanpa peringatan sama sekali. Terkutuklah saya !! Sungguh saya merasa tidak bisa mempertahankan kecintaan saya kepada apa-apa. Oktober tahun ini menguap dan tiba-tiba sudah November. Saya kesal, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingin menangis. Bulan Bahasa yang katanya saya cintai itu, malah tidak saya hiraukan sama sekali. Sibuk kah saya ? Terlampau banyak kah kegiatan saya ? Ada apa dengan saya ? Saya tidak bisa menjelaskan apa-apa. Pa, saya kacau. Saya kacau bahkan rasa-rasanya ampun. Saya tidak mengerti dengan diri saya sendiri dan arah hidup saya selama beberapa waktu terakhir.
Pa, tahun ini berjalan tanpa ada peringatan apa-apa. Saya tidak menjadi siapa-siapa dan saya tidak mengikuti apa-apa. Saya merasa mandul. Tidak bisa menjadi sesuatu yang baru dan saya tidak melahirkan karya-karya. Umur saya semakin tua, tapi saya serasa makin tidak bertanggung jawab atas hidup saya. Saya membiarkan segala yang tidak seharusnya terjadi. Kadang saya tidur, kadang saya bermain-main, kadang saya tidak melakuakn tugas saya. Saya sibuk dengan hal-hal yang tidak jelas. Sungguh rasa-rasanya hidup saya berantakan sekali. Pa, sungguh saya ingin hidup saya teratur dan saya menjadi perempuan yang tdak kacau. Menuliskan beberapa kalimat saja sekarang sudah sulit sekali. Saya tumpul, Pa. Tidak setajam dulu ketika saya tiddak sekacau sekarang. Maafkan saya yang sekarang berantakan.

November, semoga ada hal yang bisa saya berikan. Saya minta maaf, sebab saya kacau dan berantakan. Saya belum bisa memberikan hal-hal baru yang menyenangkan. Saya masih belm bisa dewasa dan belum bisa bertanggung jawab terhadap diri saya sendiri. Saya minta maaf, saya sudah lancang jatuh cinta kepada lelaki sebelum waktu nya. Untuk hal yang terakhir saya sungguh minta maaf, Pa. Saya berjanji menata ulang hidup saya dan merubah segalanya. Pa, tulisan ini buruk dan singkat. Saya tidak puas. Serupa itulah saya sekarang.Pa, bolehkah saya pulang sebentar dan mengatakan keresahan saya lengkap-lengkap ? Saya kira, saya sedang rindu berlebihan.