Minggu, 19 Juni 2016

BERDAMAI



Sebenarnya saya sedang bingung. Akhir-akhir ini ada beberapa hal yang sangat mengganggu ketenangan hidup saya, bukan mengganggu tepatnya, hanya saja beberapa hal yang sering datang ini seolah-olah menarik saya kembali ke beberapa periode di waktu silam. Periode yang sebenarnya sangat ingin saya lupakan. Saya teringat tulisan seorang penulis buku, Tere Liye kurang lebih bunyinya begini : “ Jika ingin melupakan, jangan dilawan. Biarkan ia datang,berdamai lah dengan kenangan masa lalu” Antara setuju dengan tidak, antara membenarkan juga menyalahkan dengan kalimat ini sebab, implementasinya sangat sulit. Sejujurnya saya belum bisa berdamai. Masih kesal ketika kenangan ini muncul. Saya kesal sampai harus menarik napas berkali-kali biar hati saya tenang, biar dada saya tidak sesak begitu pula napas saya. Serasa ada sesuatu yang tercekat saat kenagan itu tiba-tiba menguasai 75% isi kepala saya. Benci ? Tidak, sungguh saya tidak merasa benci tapi saya terganggu. Sebab, saya ingin melupakan atau setidaknya tidak mengingat-ingat kejadian di masa lampau. Cukuplah hal tersebut menjadi secuplik memori dan kejadian dalam bagian hidup saya. Saya tidak ingin kenangan tersebut malah mengambil alih isi kepala saya.
Kenangan ini sebenarnya baru beberapa hari yang lalu mengganggu saya. Kalau tidak salah , sembilan hari yang lalu. Tanggal 10 Juni 2016. Tidak ada kejadian spesial hari itu, cuma acara berbuka bersama satu jurusan. Tidak ada kejadian sama sekali. Namun tiba-tiba, setelah sebelas hari saya berhasil untuk tidak mengingat apa-apa, saya berhasil pergi, malah tidak peduli lagi,  dan saya juga berhasil untuk tidak menagis, tapi di hari ke-duabelas pertahanan saya goyah. Seketika sebelum pulang, saya diguyur ingatan itu. Saya  hanya terdiam, saya tidak tahu harus berbuat apa, seketika tawa saya terhenti. Sekelebat kenangan itu datang kepada saya secara tiba-tiba. Saya cuma bisa tersenyum saja, sebab saya sudah tidak bisa menangis lagi. Saya tidak tahu kenapa, hanya saja sejak kejadian malam itu saya tidak bisa menangis. Berapa kalipun saya coba tetap tidak bisa. Sekeras saya mencoba, paling keras usaha saya hanya menghasilkan basah di pelupuk mata saya. Hati saya kebas, saya tidak bisa menangis lagi padahal saya ingin. Keesokan harinya bahkan saya mengirimkan pesan ini kepada teman saya :

“Saya gundah. Ternyata pergi tanpa mengingat apa-apa tidak semudah kelihatannya. Saya hanya mampu bertahan sebelas hari, Bung. Setelah itu saya dihujani kerikil yang membuka memoar yang mulai memar. Saya teringat semuanya. Wajahnya, urat nadi tangannya, senyumnya dan yang paling membekas asap rokoknya. Dada saya sesak. Saya mungkin terlihat baik-baik saja. Dan sungguh saya memang baik-baik saja sebelas hari yang lalu, tapi sekarang tidak, Bung. Saya runtuh. Kenangan yang saya kubur di Toba memanggil saya untuk menjemputnya. Hati saya sesak, pun juga hari-hari saya” (12 Juni 2016)

  Kemudian hari-hari berikutnya serangan itu makin parah. Hampir gila saya dibuatnya. Saya kesal sampai ke ubun-ubun. Kenapa kenangan itu harus mengganggu saya lagi. Memang, tidak akan semudah itu dilupakan, tapi ayolah jangan ganggu saya lagi, atau setidaknya jangan keseringan mengganggu saya. Saya benci bukan kesal lagi. Setiap kenangan itu datang, setiap itu pula saya ingat orang itu, setiap itu pula saya kadang-kadang kembali seperti perempuan resah. Bagaimana saya harus menjelaskan bahwa saya tidak suka bahkan saya sangat benci bila kenangan itu terus mengganggu saya ? Tidak bisakah kenangan ini membiarkan hidup saya tenang. Lalu saya harus bagaimana ?
Namun mala mini saya menyadari satu hal. Saya mengingat tapi saya tidak mau kembali. Saya bukanlah perempuan munafik, saya merasa gundah saja kalau saya tidak bisa jujur terhadap perasaan saya. Bahkan sampai detik ini, sampai tulisan ini saya buat saya masih mengingat orang itu, saya masih mengingat semua hal yang sudah terjadi mungkin sampai ke detil-detil nya. Tapi sungguh saya hanya mengingat. Saya tidak ingin kembali. Saya lelah. Lelah dengan apa yang sudah saya lakukan, saya lelah dengan kebodohan saya sendiri, saya lelah bermain-main. Mungkin ini saat yang tepat untuk beristirahat. Mungkin saya akan berhenti mencari hari selain tujuh hari yang sudah Tuhan ciptakan. Membenci tidak, hanya saya mencoba berdamai saja dengan hati saya sendiri. Seperti yang dikatan Tere Liye diawal, untuk melupakan masa lalu saya harus berdamai dengan masa lalu itu sendiri. Saya anggap dengan tulisan ini saya sudah berdamai. Meskipun kadang-kadang saya kesal bahkan benci saat kenangan itu datang, saya harus bisa menerimanya bahwa itu adalah bagian kisah yang terjadi dalam hidup saya, meskipun saya tidak bisa mengatakannya indah, namun juga tidak buruk. Saya hanya perempuan labil biasa. Patah hati, galau, jatuh cinta, tertawa, bahagia, menangis, ya begitulah. Maafkan perempuan ini. Semoga saat saya 19 di Agustus mendatang, saya bisa lebih dewasa. Saya masih menyayangi orang itu, meski tidak seperti dahulu. Dia teman saya. Saya memaafkannya dan semoga saja dia juga memaafkan saya yang suka mengumpat ini. Tuhan tahu yang terbaik, dia berkata demikian.