Jumat, 26 Februari 2016

SAJAK KEPADA HAR



Malam ini entah kenapa, aku ingin sekali menuliskan sajak-sajak untuk mu. Mungkin saja karna aku sedang rindu, atau perasaanku tengah membuncah. Entahlah har, aku hanya ingin menulis malam ini untuk kamu. Terlepas apa yang aku lakukan ini benar atau salah, semoga kau memaklumi. Tulisan ini bukan tulisan yang aku buat dalam malam ini sekaligus. Beberapa telah kau baca, beberapa lagi ada yang baru aku tuliskan malam ini. Sekali lagi, entah kenapa malam ini aku sangat ingin  menulis sajak-sajak untuk mu. Maklumi saja perempuan labil ini.
KISAH PURBA
Merindukan mu
Candu yang memabukkan
Sukma-sukma
Yang tertidur lama
Dalam pangkuan derai-derai malam

Sedang apa ?
Lalu kau lempar senyum
Kau jamah jemari
Lalu kau belai mesra
Ujung hidung bangir
Kita bercengkrama hampir bersenggama

Apa kabar ?
Bertanya pada usang kata pun
Ku tak sanggup menapak temali
Kau masih begitu
Sibuk dengan asap rokok mu
Aku pun demikian
Makin tidak waras dengan penantian
Panjang

Pekanbaru, 10 Desember 2015

Sajak yang aku tuliskan tanggal 10 Desember. Sebelum malam dua puluh empat, sebelum kau dan aku baik-baik saja. Ada keinginan untuk pergi, tapi terkadang aku malah dihujani kisah kita di zaman purba. Kala itu masa yang sulit sekali, Har. Melihatmu waktu itu, malah seakan di dadaku tambah sesak. Ada sesuatu yang hendak terkubak dari dalam tapi tertahan. Kau tahu sekali bahwa aku sanagt uring-uringan. Ada kisah yang kau goreskan, ada kisah yang aku tuliskan. Meski demikian, setidaknya kurun tak selamanya mempecundangiku atas nama perasaan.

SEPOTONG MALAM

Derai-derai rinyai makin lebat. Menyisakan sepotong malam yang tidak dihiasi bintang. Ditemani secangkir teh, kita minum bersama. Menikmati masa, menjelajah kurun, ngalor-ngidul sebatas menghabiskan sepotong malam yang aku kira indah. Entahlah, aku rasa waktu lambat berjalan. Dan aku pun berharap demikian. Aku ingin berjalan lambat, menatap lamat-lamat. Sudah lama tak begini, Har. Di hari terakhir tahun ini, di tanggal paling ujung tahun ini, ada remah-remah yang masih belum terkemas. Dibawah payung yang menengadah ke langit, sambil menantang derai-derai rinyai.
Kau masih begitu. Barapa kalipun kutatap, kau memang begitu. Aku memang tak akan bisa meninggalkan tahun ini, tak akan bisa beranjak dari detik ini, aku tidak bisa. Sebab senyummu masih menggenggamku. Meski inginku terkadang pergi, mauku berlari, aku tetap tak bisa.
Tahun ini aku mengenal kamu. Tahun ini aku mengenal arti kehilangan, tahun ini aku mengenal perpisahan, tahun ini juga aku mengenal arti kehadiran, dan aku mengenal hal-hal baru. Aku mengenal sakit, aku mengenal bahagia. Ah, lagi-lagi hujan makin lebat. Gerimis makin liar saja. Teruslah begini, terus saja. Kunikmati setiap bau basah tanah yang disuguhkan malam. Tahun ini aku berasa mati, karena kau pergi. Tahun ini aku serasa kembali, karena karena kau juga kembali. Entahlah, di penghujung tahun, di penutup detik-detik yang mungkin saja orang lain hitung, aku tak ingin mutung. Hatiku terlanjur buntung.
Derai-derai rinyai, menghantarkan kisah yang aku tak ingin usai. Akan kah kita selama nya berdamai, Har ?

Pekanbaru, 31 Januari 2015 (23.55)
MAKAN MALAM
Izinkan kuhirup aroma tubuhmu dalam-dalam
Menuangkan nya kedalam gelas-gelas
Lalu meminumnya
Kau tahu
Bahwa tubuhmu serasa caviar

Pekanbaru, 1 Januari 2016

Dua sajak yang aku tuliskan di tempat mu, di buku catatanmu. Malam itu terasa panjang sekali. Perasaanku campur aduk. Antara resah dan bahagia, namun aku lebih banyak merasa resah. Pada satu sisi, aku merasa berterimakasih sekali pada hujan waktu itu yang membuat waktu serasa lebih panjang, membuat malam terasa lebih indah sekali dinikmati dibanding malam-malam lain. Namun, pada sisi lain aku sangat merasa resah, merasa bersalah. Pikiranku melayang-layang pada ibu, pada kata orang. Ada sesuatu yang salah dalam hatiku hingga aku merasa sangat resah, resah sekali malahan. Sungguh. Tapi meskipun demikian, ada hal yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Setiap kali memikirkannya lagi, perasaanku malah membuncah dan senyumku malah merekah. Terkadang Har, memang sulit sekali saat perempuan memliki perasaan.  Meskipun begitu, Terimaksih Har, atas malam yang entah kapan lagi engkau suguhkan.

SELEPAS KAU PULANG
Perjumpaan memang  tak selalu kita awali dengan basa-basi
Pun demikian pula dengan perpisahan
Yang tak kita lepas dengan sebuah pelukan
Kau bilang : Aku pergi
Aku bilang : Hati-hati
Kemudian kita berkelana masing-masing
Engkau ke barat daya nun jauh disana
Aku pergi ke timur laut menjemput maut
Kita tak pernah tahu kapan kita bertemu
Sebab, selepas kau pulang
Kau tinggal cinta dan ciuman
Dibawah tilam dalam bilik kamar

Pekanbaru, 28 Januari 2016

Kurasa kau tahu sekali makna sajak ini. Kemudian aku sambung dan perjelas pula dengan tulisan bahwa “Kau Tidak Salah”. Sejujurnya aku hanya merasakan rindu pada sesuatu yang berubah selepas kau pulang. Ada yang lain, Har. Tapi, tak apa. Sungguh tak apa. Ya meskipun aku terlihat menyedihkan sekali, tapi kau harus paham bahwa perempuan memang demikan. Bedanya, saat perempuan lain memilih untuk diam dan menangis, aku malah memilih untuk menangis dan menulis. Tapi itu adalah ahal yang wajar bagi perempuan. Har, aku rindu !!

KEPADA HAR
Bahwa sebenarmya aku ingin membawakanmu bunga-bunga dan sebuah puisi cinta meski kau adalah seorang lelaki. Meski aku kerap kali gagal menulis puisi cinta dan meski puisi cintaku tak akan pernah kau pahami. Aku ingin membawakanmu buket Drendobium,  Lisianthus, Lantana, Hydrangea, Gloriosa, beberapa jenis bunga lili serta ku selipkan juga beberapa tangkai Juliet Rose. Seandainya bisa, aku akan ke Sri Lanka kemudian akan kupetik Kadupul untukmu. Kubawakan bunga bulan dari surga untukmu saja. Aku ingin esok selalu berkunjung. Sebab bila esok datang, surya selalu membawa harapan dan senyuman yang dapat kunikmati saban hari. Adalah hal yang menyenangkan bila dapat memandangmu meski sekilas, meski sebentar saja. Meskipun terkadang, ada rasa bersalahku pada Tuhan, kemudian pada ibu. Aku ingin menatapmu saja, aku ingin memandangmu saja dari sela-sela kesibukan hari dan masa. Bukankah aku katakan aku ingin pergi ? Memang demikian, sebab aku ingin kelana serupa Ahasveros tapi kembali aku kan kembali lagi (semoga). Mencari sesuatu yang perlu dicari dan ditemukan, dan aku ingin mendapatkan sesuatu yang akan kusimpan selamanya darimu. Jika sebelum pergi aku pamit sebagai  salah satu tawanan Yomitsu Kuni atau tawanan Hades, aku akan kembali sebagai Afrodit atau Lamia sebelum dikutuk Hera,  atau aku ingin kembali sebagai Ulupi atau Citrawati bahkan Sriwedari. Jika aku tak kembali, aku hanya ingin melepas sebuah senyum yang akan kau ingat selamanya.

Pekanbaru, 26 Februari 2016


Tulisan yang aku kira sedikit lebih romantis dan berkurang kadar sarkasmenya. Har, aku sedang giat sekali belajar membuat puisi cinta. Hahahaha. Meskipun aku akui menulis puisi cinta tidak segampang menulis sajak-sajak penantian atau kesedihaan. Tetaplah jadi lelaki baik, Har. Entah kenapa aku tidak pernah bosan mengatakan hal ini kepadamu. Mengerti atau tidak, paham atau tidak, suka atau tidak, yang jelas maklumi saja dan maaf bila kamu merasa terusik.  

Kamis, 25 Februari 2016

PEREMPUAN BAIK



Seseorang pernah mengatakan kurang lebih bunyi nya begini : “Putri, jika seorang perempuan tidak terlampau cantik wajahnya, maka buatlah dirinya cantik dengan sikapnya. Bersikap anggunlah layaknya perempuan. Salah satu caranya adalah dengan menjaga ucapan dan berbicara pada waktu yang diperlukan saja. Tidak perlu mengomentari semua hal”

Kemudian ada juga seseorang yang berujar seperti ini : “Saat disuruh ngomong ya ngomong. Saat gak perlu ngomong ya nggak usah ngomong. Ini nggak, malah kebalikannya yang dilakukan.”

Tahukah siapa yang memberi nasehat seperti itu ? Dua orang dosen yang aku kira sangat peduli kepada ku. Nasehat  pertama itu disampaikan dalam omongan santai, pribadi dan saat ngalor ngidul sore-sore di meja oren tempat biasa aku duduk-duduk bersama teman-teman. Disampaikan oleh seseorang yang aku kira menyenangkan, Bapak Darmadi Ahmad S.Pd, M.Si (aku tulis lengkap, biar beliau senang). Dan nasehat kedua itu aku dapatkan saat sedang kuliah, dalam pembicaraan yang bisa dikatakan resmi sebab sedang belajar matakuliah Bioetnomelayu dan sedang berada di ruang kelas oleh Dr.Suwondo,M.Si. Ada beberapa persamaan yang aku tangkap dari dua nasehat ini. Tentang omongan, pembicaraan, terutama bagi seorang perempuan. Di beberapa postingan ku yang lalu, aku juga sudah pernah menyinggung sedikit mengenai perempuan. Bahkan sampai saat ini, aku pun masih belajar bagaimana menjadi seorang perempuan yang baik, anggun, dan bermartabat serta memang benar-benar mencerminkan diri sebagai seorang perempuan. Terlepas dari suku manakah dia, terlepas dari agama apa yang dia anut. Aku ingin menggambarkan perempuan yang baik secara universal tanpa ikatan apa-apa.

Sebenarnya, dua nasehat ini belum terlalu lama aku dapatkan. Nasehat pertama aku dapatkan beberapa hari sebelum acara Pekan Raya Biologi, dan nasehat kedua aku dapatkan baru hari senin minggu ini. Namun, barusan atau lebih tepatnya beberapa menit yang lalu, ada satu hal yang membuatku ingin mengulas mengenai nasehat ini. Sesuatu hal yang menyentil harga diriku sebagai perempuan, sesuatu hal yang menurutku berbeda dengan pandangannya tentang perempuan “baik”, sesuatu hal yang aku rasa ini perlu untuk dijelaskan lebih. Baiklah, mari kita mulai.

Sudah sangat sering aku katakan bahwa aku bukanlah perempuan baik-baik versi dogma dan norma, tapi aku selalu ingin belajar dan memantaskan diri menjadi seorang perempuan yang baik sesuai dengan agama, norma dan dogma dalam masyarakat. Mengapa aku katakana demikian ? Sebab terlampau banyak aku melakukan hal yang tak pantas bagi seorang perempuan lakukan atau ucapkan (katanya). Aku sering pulang malam, meski tidak terlampau malam atau terkadang malah terlampau larut malam sebab kegiatan kampus bukan huru-hara tak jelas. Namun ibu bilang dan orang-orang bilang, perempuan tidak bagus pulang malam. Aku tahu itu dan aku menerima alasannya, dan sebab itu pula lah aku sudah berjanji pada ibu untuk mengurangi pulang malam karna aku yakin pasti akan masa (lagi) dimana aku akan pulang malam lebih sering lagi, apalagi di semester ini.
Kemudian, aku terlampau sering bergaul dengan laki-laki. Sebagai perempuan yang tidak hidup di zaman Jaka Tarub atau di zaman Sabai Nan Aluih, dimana perempuan memang sangat tabu sekali untuk berteman dengan laki-laki, aku kira ini adalah hal yang lumrah selama dalam batas yang wajar. Untuk perihal ini aku berpatokan teguh pada agama, meskipun pada akhirnya ibu juga sedikit keberatan dengan sikapku ini. Dalam hidupku aku berpikir seperti ini : “Selama dia baik, dia tidak membawa  pengaruh buruk dan menjauhkan aku dari Tuhan, serta dia mampu membantu dan ada disaat aku susah dan senang, itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk aku akan menjadikan dia teman dalam pergaulan.” Dan andaikan kalian tahu, apa yang aku pikirkan itu, aku dapatkan saat aku berteman yang kebanyakan dengan laki-laki, tapi ingat aku juga memiliki teman perempuan meski tak sebanyak teman lelaki ku.
Dan aku rasa ini poin terpenting tentang latar belakang aku menulis postingan ini.  Aku : seorang perempuan umur 18 menuju 19 tahun dengan sikap extrovert yang lebih tampak meski sebenarnya aku seorang ambievert dengan kadar dopamine yang agak sedikit berlebihan, tengah kuliah dan memasuki semester 4, hobby membaca dan menulis apa saja. Terutama aku sangat menyukai puisi dan sajak-sajak. Mungkin disini lah permulaan yang aku kira mengapa sebagian besar orang menganggap aku “perempuan yang sedikit bebeda”.
Aku memang menyukai menulis. Bagiku selain Tuhan dan diri ku sendiri, tak ada orang yang benar-benar paham tentang pemikiran dan siapa aku sebenarnya, selain buku dan tulisan. Aku memang sedikit agak lebih berani ketika harus berbicara tentang hal-hal tabu seperti salah satunya mengenai seks atau kekerasan atau tentang cinta seorang perempuan yang sebaiknya disimpan saja, atau kesetaraan gender atau mungkin hal-hal lain. Ya mungkin di zaman sekarang permasalahan yang aku sebutkan tadi memnag tidak terlampau tabu,tapi masih dianggap agak tabu. Aku sebagai perempuan yang belum terlalu dewasa terkadang malah membicarakan mengenai seks seenteng ku saja. Menbiacarakan hal ini tentu dalam kontek pembelajaran bukan tentang “esek-esek udug-udug” dan fantasi aneh tentang seks. Tidak sama sekali.
Contohnya aku senang memilih bacaan yang sebenarnya wajar namun dianggap nyeleneh. Seperti aku pernah membaca buku tentang budak seks saat pemerintahan imperialism Jepang, suatu istilah Jugun Iufun yang aku dapatkan dan menambah wawasan. Tentang bagaimana perempuan-perempuan muda pada zaman itu mengalamai nasib yang tidak terlampau beruntung dibanding kami yang sudah hidup di zaman merdeka meski edan.  Buku yang berjudul MOMOYE, namun ada sebagian yang beranggapan “kamu itu hobby sekali baca yang ada kaitan tentang seks” atau contoh lainnya. Aku sedang membaca novel dengan judul ENTROK atau bahasa umumnya  yang kita kenal adalah BH. Seperti percakapan singkat pagi ini : Judulnya apa Put ? Entrok, ku jawab. Apa tu ? BH, ku jawab singkat. Aku hanya mendapat gelengan kepala dengan senyum kecut dari yang bertanya. Ayolah, jangan nilai sesuatu dari covernya. Isi nya tidak sevulgar itu dan malah mengajari kalian lebih dekat dengan Tuhan dan berbuat baik sesuai norma dan dogma. Atau aku yang membaca kumpulan novel dengan judul PETUALANGAN CELANA DALAM. Ya aku tahu, kebanyakan buku yang aku baca dan yang kalian lihat judulnya memang agak nyeleneh tapi percayalah isi nya jauh lebih bermakna dari novel cinta yang sering sekali kalian baca. Bukan kah ini soal selera ? jadi tolonglah, jangan seolah-olah menghakimi dengan tatapan, senyuman kecut, atau gelengan prihatin tiap kali kalian bertanya tentang apa yang aku baca. Kebetulan saja saat kalian melihat ku membaca, judul yang aku baca agak nyeleneh. Atau mungkin, kalau aku kesal dengan kalian mungkin saja akan ku baca JANGAN MAIN-MAIN DENGAN KELAMINMU di depan kalian saudara-saudara ku. Sekali lagi ini masalah selera, jika kalian suka novel cinta atau buku yang itu-itu saja ya itu selera kalian. Sedang aku malah menyukai sesuatu dengan kiblat lain. Analogi nya, kalian suka ikan bakar aku suka ayam goring. Simple ?
Kemudian, aku akui bahwa aku memang agak kurang waras dan agak kurang sopan dalam menulis sajak atau puisi tapi ini hanya sesekali. Tapi sesekali ini cukup membuat aku dihakimi sebagai seorang sarkasme dan seseorang yang terlampau “berani” dalam menulis. Dan satu hal lagi yang aku dapatkan dari penghakiman : “tidak baik perempuan menulis terlampau berani seperti itu”. Awalnya aku marah dan malah sakit hati. Aku tidak terima dikatakan seperti itu. Masa sebuah karya yang aku ciptakan malah dikata-katai tidak sopan, tidak bermakna, aneh, vulgar, dan binal ? Siapa yang tidak sakit hati kala itu. Namun, setelah aku pelajari lebih jauh, aku tidak sendirian menulis mengenai hal-hal yang masih dianggap tabu. Aku mengenal Djenar Maesa Ayu, aku mengenal Ayu Utami, aku mengenal Pranita Dewi, aku mengenal Seno Gumira Adjidarma, aku mengenal banyak sekali orang-orang yang lebih tidak waras dariku. Dan aku juga menyadari bahwa aku telah memilih kiblatku dalam menulis. Aku memilih kiblat dengan aliran feminism dan aliran sastra wengi. Dan percaya atau tidak, jika kau pernah membaca karyaku yang mungkin saja kalian katakan agak nakal, itu belum seberapa dibanding guru ku di kiblat yang sama ini. Kembali lagi, ini soal selera,ini soal pilihan. Kita tidak berhak menghakimi seseorang atas pilihannya bukan ? Ya, dalam hati pun aku berjanji akan belajar lebih rajin, biar karya yang aku lahirkan dan diksi yang aku gunakan tidak terlampau dipandang dengan mata yang agak disipit-sipitkan itu.
Terakhir, sebagai seorang penulis (seseorang yang sedang senang dan belajar menulis.red) yang jujur dan terbuka serta sedikit gila, aku menulis apa saja dan dalam bentuk apa saja tentang apa yang sedang aku rasakan. Salah satu contohnya adalah tulisan ini. Kutanyakan padamu, dimana letak salahnya saat aku menuliskan perasaan ku ? Atau dimana salahnya jika aku menulis perasaanku di blog lalu mempostingnya dan aku biarkan semua orang membaca nya ? Dimana letak salahnya ? Dan aku kira, apa yang aku tuliskan di blog ini diksinya lebih sopan dan santun ketimbang puisi dan sajak binal (katanya) yang aku tuliskan. Lalu salahnya dimana ? Oh, atau mungkin kau mempermasalahan tentang perasaan ku kepada seorang laki-laki, lalu aku menuliuskannya, dan mengumbarnya ? Begitukah ? Kau menganggap ini sebuah penurunan harga diri perempuan, sebab perempuan yang baik itu kalau memiliki perasaan cukup dipendam dan disimpan saja, bukannya ditulis dan diposting, begitukah ? Setidaknya aku sudah jujur. Mengungkapkan apa yang aku rasakan pada seseorang. Aku kira ini bukan masalah penurunan harga diri seseorang perempuan. Hanya sebuah bentuk kejujuran kepada perasaan bahwa aku sedang menyayangi seseorang. Toh, sebagai perempuan yang normal, setelah mengungkapkan perasaanku kepadanya aku malah menangis dan merasa malu jika harus bertemu dengannya. Sekarang, yang ingin aku tanyakan lagi adalah lebih rendah mana harga diriku, seorang perempuan yang jujur atas perasaannya atau harga diri seorang perempuan yang mau dipegang ini itu oleh seseorang yang belum jadi suaminya ? Secara teori kalian katakan bahwa aku lebih terhormat. Tapi realitanya, kalian malah memandangku sebagi perempuan aneh, terlampau agresif dan tidak punya harga diri sebab menyatakan perasaan ku kepada seorang laki-laki. Tapi kalian malah memaafkan bahkan menganggap lumrah harga diri perempuan yang rela dipegang-pegang ini itu oleh laki-laki yang belum tentu jadi suaminya sebab perempuan itu tidak menyatakan perasaannya tapi menerima perasaan laki-laki. Hal yang wajar bagi seorang perempuan. Menunggu seseorang menyatakan cintanya bukan malah menyatakan cinta nya kepada seseorang.
Terkadang norma dan dogma yang diciptakan malah tidak waras atau akulah yang memang tidak waras. Aku memang bukan perempuan baik tapi aku selalu belajar dan berusaha jadi perempuan baik. Aku memang pulang malam, tapi bukan huru-hara bersama laki-laki sambil pegang sana sentuh sini. Aku memang banyak bergaul dengan laki-laki tapi bukan atas nama birahi, tapi dengan ilmu dan diskusi. Aku memang terlampau blak-balakan tentang sesuatu, terkesan nakal dan binal, tapi bukan kah itu lebih baik daripada aku pura-pura menjadi baik tapi pada kenyataan nya aku malah lebih bejat. Aku memang menulis, tapi aku memilih jalanku sendiri. Aku memilih untuk menyatakan perasaanku bukan aku tidak punya malu atau harga diri, aku hanya mencoba untuk lebih berani dan jujur pada diriku sendiri, meski ku tahu orang lain tak akan peduli dan hanya menganggap aku beralibi tenatang apa yang aku katakan tadi. Lalu kau masih mengatakan aku bukan perempuan baik ? Coba kau lihat ke cermin terlebih dahulu, kemudian kau ingat-ingat apa yang sudah kau lakukan selama ini kepada anak gadis ayahnya. Dan kau masih mengatakan aku perempuan yang kurang baik ? Kalau aku kurang baik, lalu perempuan-perempuan itu bagaimana ? Hahahahahaha.

“Jadilah perempuan baik versi dirimu sendiri, versi norma dan dogma, serta versi agama yang kamu anut. Jika kamu ingin menjadi perempuan baik versi mereka, kamu tak akan bisa. Sebab kamu perlu menjadi baik sebanyak 7.000.000.000 lebih versi”

Rabu, 24 Februari 2016

PUTRI DENGAN CERITA GUNUNG DAN LAUT



PANDANGI LANGIT MALAM INI-JIKUSTIK

Putri, jangan menangis
Hapus air mata
Di wajah cantikmu

Putri, kepergianku
Tak akan lama
Tahan rindumu

Putri, seandainya saja
Kubisa, menghentikan waktu
Kuhentikan waktu

Reff

Bila kau rindukan aku putri,
Coba kau pandangi langit malam ini, aku di situ
Bila itu tak cukup mengganti
Cobalah kau hirup udara pagi, aku di situ

Mungkin dengan perpisahan
Kita kan mengerti arti pertemuan

Putri, percaya padaku
Ini hanya likuan hidup
Yang pasti berakhir


Cerita Tentang Gunung Dan Laut
Aku pernah berjalan disebuah bukit
Tak ada air
Tak ada rumput
Tanah terlalu kering untuk ditapaki
Panas selalu menghantam kaki dan kepalaku
Aku pernah berjalan diatas laut
Tak ada tanah
Tak ada batu
Air selalu merayu
Menggodaku masuk ke dalam pelukannya
Tak perlu tertawa atau menangis
Pada gunung dan laut
Karena gunung dan laut
Tak punya rasa
Aku tak pernah melihat gunung menangis
Biarpun matahari membakar tubuhnya
Aku tak pernah melihat laut tertawa
Biarpun kesejukkan bersama tariannya

Ada dua lirik lagu yang aku paparkan dibagian awal postingan ini. Malam ini aku tengah sedih sekali, dan rindu sekali. Banyak hal yang disedihkan dan dirindukan. Dua malam terakhir terlampau banyak hal yang aku pikirkan. Jika malam kemaren aku tidur terlampau cepat sebab hati yang begitu tidak karuannya ditambah lagi jika aku tidak tidur cepat maka alamat kepalaku mungkin saja bengkak-bengkak sebab ku hempas ke dinding, lain dengan malam ini. Malam ini aku malas untuk tidur dan untungnya mata tidak rewel ketika aku gunakan sebagian besar malam ini untuk menulis, menonton, merenung, lalu menulis lagi. Ya, aku tahu bahwa besok aku kuliah pagi dan setiap hari aku memang kuliah pagi. Tapi, masa bodoh lah. Yang jelas jika aku tidak terlambat, masalah tak akan datang dan aku tidak lagi menjadi anak nakal ibu. Sebab aku pun sudah berjanji, bahwa semester ini aku akan jadi anak gadis ibu yang baik dan manis.

Kembali ke dua lagu tadi. Pandangi Langit Malam Ini dari Jikustik dan Cerita Gunung dan Laut dari Payung Teduh. Dua lagu yang selau aku putar jika perasaanku sedang tidak menentu. Pun malam ini, perasaanku sedang kacau sekali sebab aku kira terlampau banyak yang harus dipikirkan dan terkadang mengapa pula aku terlampau sering merenungkan sesuatu. Malam ini aku sedang sedih, sedih sekali. Dan sudah dua malam ini pula aku menangsis sampai sedu sedan sekali. Biasa tidak pernah sampai seperti itu. Aku kira aku sudah lupa cara menangis normal. Alasan aku menangis ? Bukankah sudah ku katakana dari awal bahwa aku hanya akan menangis untuk empat orang saja ? Dan selama ikrar itu sudah terucap, aku masih teguh menjalankan nya. Bodoh memang, konyol juga. Tapi aku hanya ingin menangis untuk alasan yang berkaitan dengan empat rang itu saja.

Ada hal yang seakan menyesakan hatimu saat dua orang yang sangat kau sayangi, atau mungkin dua orang yang sangat berarti dalam hidupmu tidak lagi sama. Seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang berubah, ada sesuatu yang tidak seperti sedia kala. Atau mungkin secara perlahan-lahan seseorang yang sangat kau cintai dan mencintaimu, seseorang yang sangat kau sayangi dan menyayangimu, seseorang yang melakukan apa saja demi dirimu dan kau pun dmeikian, perlahan-lahan mulai tidak seperti dahulu lagi. Meski ia tetap mencintaimu, menyayangimu, dan masih melakukan apa saja untuk dirimu, tapi ada yang berubah. Ada yang lain dari semua nya. Kemudian yang membuat kau bertambah sedih adalah ketika seseorang itu malah mulai mencintai, menyayangi orang lain. Ada seseutu bagian dari dirimu yang dipaksa hilang. Meskipun raganya tetap bersamamu, tapi hatinya tidak milikmu lagi sepenuhnya. Cinta dan kasih nya bukan untuk mu semuanya. Kau dipaksa berbagi. Berbagi cinta, berbagi kasih. Jujur aku katakan dari lubuk hati ku : Aku tidak mau, aku tidak sudi, dan aku tidak akan pernah rela dunia akhirat berbagi ! Ini bentuk keegoisan dan kekanak-kanakan ku yang tak akan ku ubah sekalipun. Yang jelas apa yang menjadi milikku adalah milikku bukan milik orang lain. Ada sesuatu yang hilang dari diriku saat aku mulai berbagi. Ada Sesutu yang berubah ganjil yang berubah aneh. Aku kehilangan separuh nyawaku rasanya. Sesuatu itu hilang dalam artian tidak benar-benar hilang. Raga nya amsih bersamamu seutuhnya, kasih dan sayang nya pun demikian tapi rasa dan hangat nya berbeda. Rasa itu tak akan pernah berdusta. Aku merasa sangat kehilangan dan sedih sekali rasanya menyadari ada sesuatu yang hilang. Seolah-olah aku hanya hidup dengan separuh jiwa dan separuh raga. Aku ingin apa yang sebenarnya milikku kembali kepadaku. Bukankah ini hak ku ? Bahkan jika aku harus merelakan segalanya, aku akan mempetaruhkannya agar sesuatu itu kembali. Sesuatu yang bagiku sama pentingnya dengan oksigen, sesuatu yang aku kira sama berharganya dengan uang, sesuatu yang tak bisa aku lepaskan begitu saja, sebab nyawaku bersamanya.

“Separuh jiwaku menghilang. Lenyap bersama sayap-sayap Izrail yang mulai terangkat, tinggi. Aku tahu, bahwa aku bukan roh kudus yang suci. Meski demikian, cinta ku padamu lebih murni dari kisah yang sempat diceritakan Jibril kepada Muhammad. Kasih ku pun begitu, lebih indah daripada eden tempat nenek moyang kita berpijak peratama kali. Tapi mengapa kau bawa separuh nafasku menguap bersama kenangan yang tak mungkin lagi ku kisahkan pada Cupid. Sebab panahnya tak lagi manjur, pada hati yang sudah terlampau sumbing separu digerogoti elegi. Aku merindukanmu sampai ke nadi yang sudah hampir mati sebab nyawaku hilang sebagian  bersama kurun. Dan kau tahu ? Aku sedih sekali” (Jiwa dan Hati yang Sumbing)

Putri, percaya padaku
Ini hanya likuan hidup
Yang pasti berakhir

Semoga lirik ini benar. Bahwa ini hanya sekedar likuan hidup yang pasti berakhir dan berujung. Aku butuh Tuhan, dan aku butuh kamu, sungguh aku tidak main-main !!

Dan juga perasaan ku juga tengah kacau sekali. Mengapa aku masih menyedihkan dan mengecewakan sekali ? Jujur aku malu sekali. Malu pada Tuhan, malu pada Ibu, dan malu pada kamu. Banyak hal yang belum bisa aku pantaskan. Kemudian juga banyak hal yang belum aku tunaikan sama sekali. Ya Tuhan, aku benar-benar mengecewakan. Sekali lagi jujur aku katakan, bahwa aku tak mampu menampung air mata agar tidak meluap, sebab perasaan ku sudah terlanjur menguap. Aku masih belum bisa jadi gadis manis ibu dan aku masih belum bisa jadi peremuan yang baik. Aku hanya ingin berhenti menangis. Aku merasa seolah-olah aku adalah wanita yang selalu dirundung kesedihan tiap kali aku merenung dan berpikir. Perasaan ku kacau sekali. Banyak hal yang harus aku pikirkan, meskpun tak satu orang pun yang menuntut bahwa aku harus memikirkannya, aku kira ini langkah menuju dewasa. Kemudian perasaan ku juga serasa dicabik-cabik ketika ada hal yang aku renungkan kemudian berkaitan dengan sesuatu yang hilang tadi. Ada luka yang tak tampak. Aku tak akan pernah menangis dihadapan umum karena apa yang aku alami, sebab cukup malam dan sunyi yang tahu bahwa aku tengah sekarat disela senyap-senyap. Aku mencintai kalian, sungguh aku mencintainya dari lubuk hati yang dalam. Kemudian aku juga menyayangi kamu. Aku tak lagi sempat memikirkanmu sebaba banyak hal yang mengganggu pikiranku. Meskipun begitu kamu selalu ku doakan di akhir sujud ku. Banyak hal yang sekarang menjadi prioritasku. Waktu yang aku miliki pun terbatas. Kau doakan saja biar aku tak cepat sakit jiwa. Sebab terlampau banyak aku menangis dan berbicara sendiri maka aku merasa semakin tidak waras. Karna kamu yang terlampau sibuk dan tak ada waktu, aku terpaksa bercerita dengan diriku sendiri sepanjang waktu. Kadag sambil marah, sering tapi lebih sering mennagis ketimbang tertawa.Persis aku seperti orang gila.

Tak perlu tertawa atau menangis
Pada gunung dan laut
Karena gunung dan laut
Tak punya rasa

Jika aku memang tak perlu menangis lagi, berikanlah aku apa yang akan membuat ku tak akan menagis lagi. Aku mencintai kalian, sungguh benar-benar cinta !!