Sebenarnya saya sedang bingung. Akhir-akhir ini ada beberapa hal
yang sangat mengganggu ketenangan hidup saya, bukan mengganggu tepatnya, hanya
saja beberapa hal yang sering datang ini seolah-olah menarik saya kembali ke
beberapa periode di waktu silam. Periode yang sebenarnya sangat ingin saya
lupakan. Saya teringat tulisan seorang penulis buku, Tere Liye kurang lebih
bunyinya begini : “ Jika ingin melupakan, jangan dilawan. Biarkan ia
datang,berdamai lah dengan kenangan masa lalu” Antara setuju dengan tidak,
antara membenarkan juga menyalahkan dengan kalimat ini sebab, implementasinya
sangat sulit. Sejujurnya saya belum bisa berdamai. Masih kesal ketika kenangan
ini muncul. Saya kesal sampai harus menarik napas berkali-kali biar hati saya
tenang, biar dada saya tidak sesak begitu pula napas saya. Serasa ada sesuatu
yang tercekat saat kenagan itu tiba-tiba menguasai 75% isi kepala saya. Benci ?
Tidak, sungguh saya tidak merasa benci tapi saya terganggu. Sebab, saya ingin
melupakan atau setidaknya tidak mengingat-ingat kejadian di masa lampau.
Cukuplah hal tersebut menjadi secuplik memori dan kejadian dalam bagian hidup
saya. Saya tidak ingin kenangan tersebut malah mengambil alih isi kepala saya.
Kenangan ini sebenarnya baru beberapa hari yang lalu mengganggu
saya. Kalau tidak salah , sembilan hari yang lalu. Tanggal 10 Juni 2016. Tidak
ada kejadian spesial hari itu, cuma acara berbuka bersama satu jurusan. Tidak
ada kejadian sama sekali. Namun tiba-tiba, setelah sebelas hari saya berhasil
untuk tidak mengingat apa-apa, saya berhasil pergi, malah tidak peduli lagi, dan saya juga berhasil untuk tidak menagis, tapi
di hari ke-duabelas pertahanan saya goyah. Seketika sebelum pulang, saya
diguyur ingatan itu. Saya hanya terdiam,
saya tidak tahu harus berbuat apa, seketika tawa saya terhenti. Sekelebat kenangan
itu datang kepada saya secara tiba-tiba. Saya cuma bisa tersenyum saja, sebab
saya sudah tidak bisa menangis lagi. Saya tidak tahu kenapa, hanya saja sejak
kejadian malam itu saya tidak bisa menangis. Berapa kalipun saya coba tetap
tidak bisa. Sekeras saya mencoba, paling keras usaha saya hanya menghasilkan basah
di pelupuk mata saya. Hati saya kebas, saya tidak bisa menangis lagi padahal
saya ingin. Keesokan harinya bahkan saya mengirimkan pesan ini kepada teman
saya :
“Saya gundah. Ternyata pergi tanpa mengingat apa-apa tidak semudah
kelihatannya. Saya hanya mampu bertahan sebelas hari, Bung. Setelah itu saya
dihujani kerikil yang membuka memoar yang mulai memar. Saya teringat semuanya.
Wajahnya, urat nadi tangannya, senyumnya dan yang paling membekas asap rokoknya.
Dada saya sesak. Saya mungkin terlihat baik-baik saja. Dan sungguh saya memang
baik-baik saja sebelas hari yang lalu, tapi sekarang tidak, Bung. Saya runtuh.
Kenangan yang saya kubur di Toba memanggil saya untuk menjemputnya. Hati saya
sesak, pun juga hari-hari saya” (12 Juni 2016)
Kemudian hari-hari berikutnya serangan itu
makin parah. Hampir gila saya dibuatnya. Saya kesal sampai ke ubun-ubun. Kenapa
kenangan itu harus mengganggu saya lagi. Memang, tidak akan semudah itu
dilupakan, tapi ayolah jangan ganggu saya lagi, atau setidaknya jangan
keseringan mengganggu saya. Saya benci bukan kesal lagi. Setiap kenangan itu datang,
setiap itu pula saya ingat orang itu, setiap itu pula saya kadang-kadang kembali
seperti perempuan resah. Bagaimana saya harus menjelaskan bahwa saya tidak suka
bahkan saya sangat benci bila kenangan itu terus mengganggu saya ? Tidak
bisakah kenangan ini membiarkan hidup saya tenang. Lalu saya harus bagaimana ?
Namun mala mini saya menyadari satu hal. Saya mengingat tapi saya
tidak mau kembali. Saya bukanlah perempuan munafik, saya merasa gundah saja
kalau saya tidak bisa jujur terhadap perasaan saya. Bahkan sampai detik ini, sampai
tulisan ini saya buat saya masih mengingat orang itu, saya masih mengingat
semua hal yang sudah terjadi mungkin sampai ke detil-detil nya. Tapi sungguh
saya hanya mengingat. Saya tidak ingin kembali. Saya lelah. Lelah dengan apa
yang sudah saya lakukan, saya lelah dengan kebodohan saya sendiri, saya lelah
bermain-main. Mungkin ini saat yang tepat untuk beristirahat. Mungkin saya akan
berhenti mencari hari selain tujuh hari yang sudah Tuhan ciptakan. Membenci
tidak, hanya saya mencoba berdamai saja dengan hati saya sendiri. Seperti yang
dikatan Tere Liye diawal, untuk melupakan masa lalu saya harus berdamai dengan
masa lalu itu sendiri. Saya anggap dengan tulisan ini saya sudah berdamai. Meskipun
kadang-kadang saya kesal bahkan benci saat kenangan itu datang, saya harus bisa
menerimanya bahwa itu adalah bagian kisah yang terjadi dalam hidup saya,
meskipun saya tidak bisa mengatakannya indah, namun juga tidak buruk. Saya
hanya perempuan labil biasa. Patah hati, galau, jatuh cinta, tertawa, bahagia,
menangis, ya begitulah. Maafkan perempuan ini. Semoga saat saya 19 di Agustus
mendatang, saya bisa lebih dewasa. Saya masih menyayangi orang itu, meski tidak
seperti dahulu. Dia teman saya. Saya memaafkannya dan semoga saja dia juga
memaafkan saya yang suka mengumpat ini. Tuhan tahu yang terbaik, dia berkata
demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left a comment if you want ^^