Selasa, 31 Mei 2016

PERCAKAPAN



Bukan lagi dua hari belakangan aku memikirkan hal ini. Sudah lama, bahkan sejak pertama kali cerita ini malah semakin rumit, aku sudah bahkan terlampau memikirkanya setiap kali sempat. Tiga hari yang lalu, tepat tanggal 28 Mei cerita ini persis satu tahun berlalu. Mei memberikan arti lebih dua tahun belakangan ini. Mei tahun lalu aku dikenalkan dan diajarkan tentang cinta, sedang Mei tahun ini aku diajarkan bertahnggung jawab atas segala hal. Mei tahun lalu dan Mei tahun ini mutlak berhubungan. Di penghujung Mei tahun ini, iznkanlah aku berkisah sejenak. Mula-mula, kita baiknya kembali ke awal cerita ini dimulai. Kita harus berjalan mundur 365 hari lebih kebelakang, bahkan harus lebih jauh. Aku tak akan mengisahkan ini dari awal, sebab sudah terlampau banyak sekali kisah yang aku ceritakan dan nanti pastinya hanya akan jadi pengulangan, tidak menarik dan basi. Tulisan ini sebenarnya aku berikan hanya sebagai refleksi. Kita berkaca, atau tepatnya aku harus berkaca lagi tentang cerita yang dimulai satu tahun lalu. Langsung saja aku kisahkan. Sejauh cerita ini berlangsung, selama cerita ini diputar, selama itu pula lah sepanjang tahun ini aku lebih sering menangis ketimbang tertawa. Bahkan terkadang kebodohan yang aku lakukan adalah menangis tak ingat tempat dan waktu.
 
+Bertanya sebab kenapa aku menangis ? Sederhana, alasan nya hanya karna perasaan. Jangan disalahkan dulu, sebab perempuan memang demikian . Menangis karna perasaan bukan berarti aku bermaksud berlebihan, hanya saja dengan menangislah lah aku yang meruapakan bagian dari kaum perempuan, kami rasa kami bisa melepaskan sesuatu yang kadang tak mampu dijelaskan.

+Lalu kau bertanya tantang penyebab perasaan itu muncul ? Apalagi kalau bukan lelaki. Sebelum kau bertanya lebih jauh, mari sejenak aku jelaskan. Tokoh utama yang akan kita bahas di dalam kisah ini adalah aku, bukan lelaki itu. Kemudian, tolong jangan biarkan asumsimu semakin liar untuk melihat dari sisi yang salah dari kisah ini, hingga akhirya kisah ini malah kau terjemahkan bahwa lelaki itu yang salah, padahal bukan sama sekali. Mari, kita lajutkan kisah ini.

+Kenapa aku memberikan peringatan tersebut sebelum melanjutkan kisah ini ? Kau jangan mencercaku begitu. Tahanlah keingintahuanmu sebab semua pasti akan aku jelaskan. Sebenarya saat ini dalam pikiranku aku selalu merasa bersalah pada lelaki itu. Aku hanya tak ingin semakin merasa segan dan bersalah pada lelaki itu. Tiap kali aku berkisah, tiap kali pula orang yang mendengar kisah ini malah menyalahkan lelaki itu padahal tidak sama sekali. Tiap kali aku mulai, tiap kali pula orang-orang menilai lelaki itu jahat, tidak berperasaan, dan segala hal yang tidak ada sama sekali pada lelaki itu. Sungguh, bukan tanpa dasar aku berkata demikian. Karna setahuku lelaki itu memang tidak demikian kelakukannya.

+Darimana aku menyimpulkan bahwa lelaki itu tidak demikian ? Ya karna memang begitulah adanya. Dia baik, bahkan terlampau baik.

+Aku dibutakan perasaan ? Jangan menuduhku sembarangan. Tidak sedikitpun aku dibutakan perasaan. Aku berbicara secara objektif dengan perspektif lain. Bukan berdasarkan objektivitas yang tak jelas dari segi mana kalian memandang. Oh, mengapa malah kita terfokus pada lelaki itu. Seharusnya  bukan dia tokoh utama dalam tulisan kali ini.

+ Mengapa aku harus menuliskan kisah ini, hari ini dan dalam tulisan ini ? Aku hanya ingin jujur. Sebab dengan tulisan ini aku bisa berkata jujur tanpa kebohongan yang sudah diatur oleh otak.   Sebenarnya aku ingin menuliskan ini sejak beberapa hari yang lalu namun tidak sempat. Banyak hal yang ingin aku tuliskan tapi aku tak mengerti harus mulai darimana dahulu.
+ Apakah aku menyesal dengan kisah ini ? Tentu tidak, sama sekali tidak ada penyesalan sedikitpun dalam hatiku. Meskipun aku tak bisa mengatakan bahwa ini kisah yang indah, tapi ini bukanlah kisah yang buruk. Aku menikmati setiap alur yang sudah berjalan lewat satu tahun. Setiap momen yang ada aku nikmati. Setiap air mata, setiap tawa, setiap waktu yang sudah berlalu kunikmati tiap detiknya. Apakah harus aku jelaskan bahwa aku juga menikmati setiap hembusan asap rokoknya ? Tidak perlu sampai sejauh itu. Lagi aku katakan, bahwa aku tidak menyesal.

+Buat apa menangis kalau memang tak menyesal ? Kau tak akan paham. Ini lah bagian rumitnya menjadi perempuan. Selain cerewet, besar mulut, sombong, hiperkritis, menjengkelkan, pongah, dan sebagainya, perempuan juga rumit tingkat mahadewa. Kau tak akan mengerti dan aku pun tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Yang jelas, alasan kenapa aku masih menangis meski tidak menyesal dengan kisah ini adalah hal rumit yang sulit sekali untuk dijelaskan
+ Mungkin saja dengan melihatku menangis, dia yang merasa bersalah kepadaku bukan aku yang bersalah padanya ? Mungkin. Sebab aku menangis terlampau sering padahal lelaki itu sudah memintaku agar tidak menangis lagi. Mungkin untuk hal ini harus refleksi diri. Aku tak melulu harus menangis bila teringat tentang dia atau bahkan bila hal-hal rumit dan sulit sekali untuk dijelaskan itu datang mengganggu pikiranku. Mengutarakan sesuatu tidak harus dengan menangis, atau setidaknya janagn biarkan orang lain tahu bahwa aku sedang menangis.

+Karna aku terlalu banyak menangis dan orang lain tahu aku menangisi tentang lelaki itu,  mungkin saja itu yang menyebabkan orang lain berpikir bahwa dia jahat. Aku penyebabnya ? Ya, aku rasa memang akulah penyebab semuanya. Untuk itu aku menulis tulisan ini dan ingin refleksi diri biar tidak terus-terusan begini. Kau tahu ? Aku yang jahat bukan lelaki itu. Aku rasa aku egois, menangis tak kenal waktu dan tempat hingga orang lain malah menyalahkannya, bercerita sana-sini hingga orang lain salah terjemahan, aku terlalu perempuan untuk hal ini !! Aku tak mendengarkan lelaki itu. Dia bilang jangan menangis, tapi aku masih saja menangis bahkan tidak tahu diri sama sekali dimana dan kapan seharusnya menangis. Lelaki itu katakan jangan terlampau percaya pada orang, tidak baik nanti. Tapi aku malah terlampau bodoh untuk mengerti maksudnya. Aku mudah sekali percaya dan akhirnya, memanglah tidak baik. Semua semakin kacau dan aku semakin merasa bersalah dan mungkin dia juga semakin. Aku yang jahat untuk kisah ini.

+ Apakah aku sadar akan hal itu ? Setelah semuanya terjadi baru aku sadar, dan aku kira sudah terlambat. Asumsi dan pikiran-pikiran sudah terlanjur dilahirkan dari masih-masing kepala orang. Kisah ini sudah terlanjur makin rumit.

+ Tidak mencoba menjelaskan padanya ? Sudah, dan dia memaklumi tapi aku memang dasar nakal, memang dasar bebal. Tak cukup jatuh sekali pada lubang yang sama. Kesalahan itu aku lakukan berulang-ulang. Hasilnya, kau pasti tahu sendiri bahwa cerita ini emakin rumit dan berbelit.

+ Aku jahat !! ? Ya aku memang jahat, jahat sekali. Sudah jahat, bebal pula.

+ Dia lebih baik pergi meninggalkanku ? Jangan, jangan pergi. Astaga, mengapa aku masih saja seegois ini. Masih memikirkan diriku sendiri. Tapi sungguh aku tak sanggup bila ditinggal sendirian. Aku butuh pembiasaan.

+ Tulisan-tulisanku juga mennganggunya, malah menciptakan asumsi yang semakin salah tentang lelaki itu ?  Aku rasa juga begitu. Tulisan ini, tulisan sebelum-sebelumnya, sajak dan puisi yang aku tuliskan malah aku kira juga membuat dia lelaki itu semakin disalahkan. Atau bahkan tulisan-tulisan itu yang juga membuat aku semakin merasa bersalah dan lelaki itu pun demikian. Ah, tapi aku hanya mampu jujur lewat tulisan.

+ Aku bisa berbicara dengan lelaki itu ? Tidak. Jangan suruh aku berbicara tentang apa yang sebenarnya aku rasakan kepadanya secara langsung. Aku tidak bisa, dan tak akan pernah bisa. Aku selalu saja kehabisan kata-kata. Aku hanya sanggup menuliskannya.

+ Tulisanku membuat semua malah makin ambigu dan masalahnya tidak akan pernah selesai !! Lalu aku harus apa ? Aku hanya mampu menulis, aku tak bisa berbicara langsung dan aku juga tak tahan jika memnag harus memendam. Aku butuh sajak, aku butuh puisi, aku butuh menulis, dan lebih dari itu aku butuh lebih sering berbicara dengan Tuhan.
+ Kanapa tidak hanya dengan Tuhan saja. Toh Tuhan adalah maha dari segala Maha. Dia lebih paham, dan dia lebih punya solusi ? Tapi aku juga ingin menulis puisi. Aku baru merasa lega selepas melakukan keduanya. Mengadu kepada Tuhan, lalu kepada sajak dan puisi.

+ Apa yang mau aku katakan kepada lelaki itu sekarang ? Aku mencintai lelaki itu

+ Itu saja ? Tentu tidak. Aku ingin meminta maaf lagi atas semua hal yang telah terjadi. Sedikit pun aku tak pernah benar-benar membencimu atas segala hal. Aku hanya jengkel saja sesekali. Tapi sungguh, perasaanku malah bertambah-tambah. Maaf selau membawa-bawa namamu dalam sajak dan puisiku. Maaf, sebab kau dicintai oleh seorang penyair dan namamu akan selalu abadi dalam sajak-sajak. Aku akan lebih berpikir bagaimana agar aku tak lagi menjadikanmu objek asumsi sesat dari orang-orang berdasarkan kisah dan tulisan yang aku sampaikan. Sejujurnya, aku bangga padamu atas apa yang kau lalukan dalam acara kemaren. Aku ingin mengucapkan selamat secara langsung tapi aku malu, aku segan. Kau memang lelaki yang bisa diandalkan. Terimakasih atas apa yang sudah kau lakukan dan apa yang sudah kau suguhkan, terlepas itu sempurna dimata mereka atau tidak. Kau luar biasa, sungguh. Dan lagi, aku tak akan mendesak-desakmu lagi. Selalu meminta dan menanyakan penjelasan atas penyebab cerita satu tahun ini dimulai. Aku akan menunggu tanpa mendesakmu lagi. Baik secara langsung maupun dengan tulisan-tulisan. Tapi kau tahu bahwa aku tak akan pernah berhenti menulis, jadi tolong maklumi perempuan ini. Jadilah lelaki baik. Aku tak pernah bosan berbicara seperti ini. Aku rindu, dan aku mencintamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Left a comment if you want ^^