Bukan
lagi dua hari belakangan aku memikirkan hal ini. Sudah lama, bahkan sejak
pertama kali cerita ini malah semakin rumit, aku sudah bahkan terlampau
memikirkanya setiap kali sempat. Tiga hari yang lalu, tepat tanggal 28 Mei
cerita ini persis satu tahun berlalu. Mei memberikan arti lebih dua tahun
belakangan ini. Mei tahun lalu aku dikenalkan dan diajarkan tentang cinta,
sedang Mei tahun ini aku diajarkan bertahnggung jawab atas segala hal. Mei
tahun lalu dan Mei tahun ini mutlak berhubungan. Di penghujung Mei tahun ini,
iznkanlah aku berkisah sejenak. Mula-mula,
kita baiknya kembali ke awal cerita ini dimulai. Kita harus berjalan mundur 365
hari lebih kebelakang, bahkan harus lebih jauh. Aku tak akan mengisahkan ini
dari awal, sebab sudah terlampau banyak sekali kisah yang aku ceritakan dan
nanti pastinya hanya akan jadi pengulangan, tidak menarik dan basi. Tulisan ini
sebenarnya aku berikan hanya sebagai refleksi. Kita berkaca, atau tepatnya aku harus
berkaca lagi tentang cerita yang dimulai satu tahun lalu. Langsung saja aku
kisahkan. Sejauh cerita ini berlangsung, selama cerita ini diputar, selama itu
pula lah sepanjang tahun ini aku lebih sering menangis ketimbang tertawa.
Bahkan terkadang kebodohan yang aku lakukan adalah menangis tak ingat tempat
dan waktu.
+Bertanya sebab kenapa aku menangis ?
Sederhana, alasan nya hanya karna perasaan. Jangan disalahkan dulu, sebab
perempuan memang demikian . Menangis karna perasaan bukan berarti aku bermaksud
berlebihan, hanya saja dengan menangislah lah aku yang meruapakan bagian dari
kaum perempuan, kami rasa kami bisa melepaskan sesuatu yang kadang tak mampu
dijelaskan.
+Lalu kau bertanya tantang penyebab perasaan itu
muncul ? Apalagi kalau bukan lelaki. Sebelum kau
bertanya lebih jauh, mari sejenak aku jelaskan. Tokoh utama yang akan kita
bahas di dalam kisah ini adalah aku, bukan lelaki itu. Kemudian, tolong jangan
biarkan asumsimu semakin liar untuk melihat dari sisi yang salah dari kisah
ini, hingga akhirya kisah ini malah kau terjemahkan bahwa lelaki itu yang
salah, padahal bukan sama sekali. Mari, kita lajutkan kisah ini.
+Kenapa aku memberikan peringatan tersebut sebelum
melanjutkan kisah ini ? Kau jangan mencercaku
begitu. Tahanlah keingintahuanmu sebab semua pasti akan aku jelaskan. Sebenarya
saat ini dalam pikiranku aku selalu merasa bersalah pada lelaki itu. Aku hanya
tak ingin semakin merasa segan dan bersalah pada lelaki itu. Tiap kali aku
berkisah, tiap kali pula orang yang mendengar kisah ini malah menyalahkan
lelaki itu padahal tidak sama sekali. Tiap kali aku mulai, tiap kali pula
orang-orang menilai lelaki itu jahat, tidak berperasaan, dan segala hal yang
tidak ada sama sekali pada lelaki itu. Sungguh, bukan tanpa dasar aku berkata
demikian. Karna setahuku lelaki itu memang tidak demikian kelakukannya.
+Darimana aku menyimpulkan bahwa lelaki itu tidak
demikian ? Ya karna memang begitulah adanya.
Dia baik, bahkan terlampau baik.
+Aku dibutakan perasaan ?
Jangan menuduhku sembarangan. Tidak sedikitpun aku dibutakan perasaan. Aku
berbicara secara objektif dengan perspektif lain. Bukan berdasarkan
objektivitas yang tak jelas dari segi mana kalian memandang. Oh, mengapa malah
kita terfokus pada lelaki itu. Seharusnya
bukan dia tokoh utama dalam tulisan kali ini.
+ Mengapa aku harus menuliskan kisah ini, hari ini
dan dalam tulisan ini ? Aku hanya ingin jujur.
Sebab dengan tulisan ini aku bisa berkata jujur tanpa kebohongan yang sudah
diatur oleh otak. Sebenarnya aku ingin
menuliskan ini sejak beberapa hari yang lalu namun tidak sempat. Banyak hal
yang ingin aku tuliskan tapi aku tak mengerti harus mulai darimana dahulu.
+ Apakah aku menyesal dengan kisah ini ?
Tentu tidak, sama sekali tidak ada penyesalan sedikitpun dalam hatiku. Meskipun
aku tak bisa mengatakan bahwa ini kisah yang indah, tapi ini bukanlah kisah
yang buruk. Aku menikmati setiap alur yang sudah berjalan lewat satu tahun.
Setiap momen yang ada aku nikmati. Setiap air mata, setiap tawa, setiap waktu
yang sudah berlalu kunikmati tiap detiknya. Apakah harus aku jelaskan bahwa aku
juga menikmati setiap hembusan asap rokoknya ? Tidak perlu sampai sejauh itu.
Lagi aku katakan, bahwa aku tidak menyesal.
+Buat apa menangis kalau memang tak menyesal ?
Kau tak akan paham. Ini lah bagian rumitnya menjadi perempuan. Selain cerewet,
besar mulut, sombong, hiperkritis, menjengkelkan, pongah, dan sebagainya, perempuan
juga rumit tingkat mahadewa. Kau tak akan mengerti dan aku pun tak bisa
menjelaskannya dengan kata-kata. Yang jelas, alasan kenapa aku masih menangis
meski tidak menyesal dengan kisah ini adalah hal rumit yang sulit sekali untuk
dijelaskan
+ Mungkin saja dengan melihatku menangis, dia yang
merasa bersalah kepadaku bukan aku yang bersalah padanya ? Mungkin.
Sebab aku menangis terlampau sering padahal lelaki itu sudah memintaku agar
tidak menangis lagi. Mungkin untuk hal ini harus refleksi diri. Aku tak melulu
harus menangis bila teringat tentang dia atau bahkan bila hal-hal rumit dan
sulit sekali untuk dijelaskan itu datang mengganggu pikiranku. Mengutarakan
sesuatu tidak harus dengan menangis, atau setidaknya janagn biarkan orang lain
tahu bahwa aku sedang menangis.
+Karna aku terlalu banyak menangis dan orang lain
tahu aku menangisi tentang lelaki itu, mungkin
saja itu yang menyebabkan orang lain berpikir bahwa dia jahat. Aku penyebabnya
? Ya, aku rasa memang akulah penyebab
semuanya. Untuk itu aku menulis tulisan ini dan ingin refleksi diri biar tidak
terus-terusan begini. Kau tahu ? Aku yang jahat bukan lelaki itu. Aku rasa aku
egois, menangis tak kenal waktu dan tempat hingga orang lain malah
menyalahkannya, bercerita sana-sini hingga orang lain salah terjemahan, aku
terlalu perempuan untuk hal ini !! Aku tak mendengarkan lelaki itu. Dia bilang jangan
menangis, tapi aku masih saja menangis bahkan tidak tahu diri sama sekali
dimana dan kapan seharusnya menangis. Lelaki itu katakan jangan terlampau
percaya pada orang, tidak baik nanti. Tapi aku malah terlampau bodoh untuk
mengerti maksudnya. Aku mudah sekali percaya dan akhirnya, memanglah tidak
baik. Semua semakin kacau dan aku semakin merasa bersalah dan mungkin dia juga
semakin. Aku yang jahat untuk kisah ini.
+ Apakah aku sadar akan hal itu ?
Setelah semuanya terjadi baru aku sadar, dan aku kira sudah terlambat. Asumsi
dan pikiran-pikiran sudah terlanjur dilahirkan dari masih-masing kepala orang.
Kisah ini sudah terlanjur makin rumit.
+ Tidak mencoba menjelaskan padanya ?
Sudah, dan dia memaklumi tapi aku memang dasar nakal, memang dasar bebal. Tak
cukup jatuh sekali pada lubang yang sama. Kesalahan itu aku lakukan berulang-ulang.
Hasilnya, kau pasti tahu sendiri bahwa cerita ini emakin rumit dan berbelit.
+ Aku jahat !! ?
Ya aku memang jahat, jahat sekali. Sudah jahat, bebal pula.
+ Dia lebih baik pergi meninggalkanku ?
Jangan, jangan pergi. Astaga, mengapa aku masih saja seegois ini. Masih
memikirkan diriku sendiri. Tapi sungguh aku tak sanggup bila ditinggal
sendirian. Aku butuh pembiasaan.
+ Tulisan-tulisanku juga mennganggunya, malah
menciptakan asumsi yang semakin salah tentang lelaki itu ? Aku rasa juga begitu. Tulisan ini, tulisan
sebelum-sebelumnya, sajak dan puisi yang aku tuliskan malah aku kira juga
membuat dia lelaki itu semakin disalahkan. Atau bahkan tulisan-tulisan itu yang
juga membuat aku semakin merasa bersalah dan lelaki itu pun demikian. Ah, tapi
aku hanya mampu jujur lewat tulisan.
+ Aku bisa berbicara dengan lelaki itu ?
Tidak. Jangan suruh aku berbicara tentang apa yang sebenarnya aku rasakan
kepadanya secara langsung. Aku tidak bisa, dan tak akan pernah bisa. Aku selalu
saja kehabisan kata-kata. Aku hanya sanggup menuliskannya.
+ Tulisanku membuat semua malah makin ambigu dan
masalahnya tidak akan pernah selesai !!
Lalu aku harus apa ? Aku hanya mampu menulis, aku tak bisa berbicara langsung
dan aku juga tak tahan jika memnag harus memendam. Aku butuh sajak, aku butuh
puisi, aku butuh menulis, dan lebih dari itu aku butuh lebih sering berbicara
dengan Tuhan.
+ Kanapa tidak hanya dengan Tuhan saja. Toh Tuhan
adalah maha dari segala Maha. Dia lebih paham, dan dia lebih punya solusi ? Tapi
aku juga ingin menulis puisi. Aku baru merasa lega selepas melakukan keduanya.
Mengadu kepada Tuhan, lalu kepada sajak dan puisi.
+ Apa yang mau aku katakan kepada lelaki itu
sekarang ? Aku mencintai lelaki itu
+ Itu saja ?
Tentu tidak. Aku ingin meminta maaf lagi atas semua hal yang telah terjadi.
Sedikit pun aku tak pernah benar-benar membencimu atas segala hal. Aku hanya
jengkel saja sesekali. Tapi sungguh, perasaanku malah bertambah-tambah. Maaf
selau membawa-bawa namamu dalam sajak dan puisiku. Maaf, sebab kau dicintai
oleh seorang penyair dan namamu akan selalu abadi dalam sajak-sajak. Aku akan
lebih berpikir bagaimana agar aku tak lagi menjadikanmu objek asumsi sesat dari
orang-orang berdasarkan kisah dan tulisan yang aku sampaikan. Sejujurnya, aku
bangga padamu atas apa yang kau lalukan dalam acara kemaren. Aku ingin
mengucapkan selamat secara langsung tapi aku malu, aku segan. Kau memang lelaki
yang bisa diandalkan. Terimakasih atas apa yang sudah kau lakukan dan apa yang
sudah kau suguhkan, terlepas itu sempurna dimata mereka atau tidak. Kau luar
biasa, sungguh. Dan lagi, aku tak akan mendesak-desakmu lagi. Selalu meminta
dan menanyakan penjelasan atas penyebab cerita satu tahun ini dimulai. Aku akan
menunggu tanpa mendesakmu lagi. Baik secara langsung maupun dengan
tulisan-tulisan. Tapi kau tahu bahwa aku tak akan pernah berhenti menulis, jadi
tolong maklumi perempuan ini. Jadilah lelaki baik. Aku tak pernah bosan
berbicara seperti ini. Aku rindu, dan aku mencintamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left a comment if you want ^^