Minggu, 20 November 2016

DONGENG KANAK-KANAK DAN IBU

Dua minggu sudah terhitung sejak hari itu. Selama itu pula saya belajar banyak hal tentang pengendalian perasaan, emosi, ketegaran, kepura-puraan, bersikap wajar dengan basa-basi, belajar untuk sabar dan mengikhlaskan, dan yang jelas belajar untuk lebih bersikap dewasa atas segala hal yang terjadi. Akhir-akhir ini sepi sekali. Perlahan satu-satu mulai pergi. Perlahan satu-satu mulai meninggalkan. Sejujurnya saya lebih menyukai sepi ketimbang suasana ramai, tapi saya paling tidak suka kesepian. Saya suka sendiri tapi tidak sendirian. Saya sadar setiap hal yang datang pasti akan pergi. Tapi yang saya herankan apakah memang harus selalu demikian ? Termasuk tentang hubungan baik ? Memang, hak setiap orang untuk pergi dan tinggal tapi disamping itu ada juga hak orang lain untuk bertahan dan meminta kejelasan. Saya bisa mengatakan saya baik-baik saja, tapi tidak untuk setiap saat. Kadang saya memang benar baik-baik saja, namun banyak kacaunya, banyak menungnya, banyak resahnya.
Saya jadi teringat dengan pertanyaan saya kepada seseorang penyair perempuan : “ Kak, apa alasan kakak untuk menulis ? Beliau menjawab kira-kira  begini : “Dik, menulis itu membebasakan diri dari kesepian.” Lalu saya juga bertanya kepada seseorang yang lain : “Bang, menurut abang puisi itu apa ?” Katanya : “Puisi itu kejujuran, Put. Disanalah kita bisa jujur terhadap apa saja.” Untuk orang-orang yang bertanya mengapa saya selalu menuliskan apa yang saya rasakan. Saya hanya lelah untuk bercerita kepada manusia. Manusia itu semua nya sama saja, terlampau sering khilaf dan terlampau pandai. Manusia terlampau pandai untuk berpura-pura tulus, berpura-pura peduli dan berpura-pura mencintai. Manusia juga terlampau pandai memberikan kata-kata dan janji. Saya cuma lelah untuk bercerita tentang dongeng-dongeng kepada orang-orang pandai. Apalagi dongeng yang saya ceritakan pada akhirnya cuma dianggap sebagai cerita anak-anak. Ah, mungkin memang benar. Dongeng kurang cocok  untuk orang-orang yang berbicara dengan dan tentang fakta. Dongeng bukan untuk orang dewasa. Dongeng hanya untuk kaum bisa mempercayainya.  Saya seorang pendongeng amatir. Tidak ada yang percaya dongeng yang saya ceritakan selain tiang listrik, jalan raya, aspal, lampu, genangan air setelah hujan, air dalam baskom, langit yang saya pandangi dari atas atap, angin, dan beberapa orang-orang yang mempercayainya. Lagi pula yang paling paham dongeng yang saya ceritakan cuma Tuhan dan tulisan. Maka dari itu mengapa saya senang menulis jika saya sedang ingin bercerita. Saya merasa bebas, saya merasa tidak sendirian, saya tidak kesepian dan saya bisa jujur untuk menceritakan apa saja kepada orang-orang dewasa yang ingin tahu dan sedikit mempercayai cerita-cerita saya.

***
Tadi malam saya menelpon Ibu dan mengatakan bahwa saya sedang patah hati. Ibu bilang patah hati itu hal biasa, tidak usah terlampau dipikirkan. “Belajarlah dari Ibu”, Ibu bilang demikian. Saya malah jadi sedih sendiri. Rasa-rasa nya saya terlampau lemah menjadi perempuan saat saya mengadu patah hati kepada ibu. Ibu selalu tegar, mengapa saya tidak bisa mencoba untuk sedikit tegar ? Ibu selalu kuat, mengapa saya tidak mencoba untuk sedikit lebih kuat ? Saya  sering mengatakan bahwa perempuan harus kuat, tapi kenyataannya malah saya yang tidak bisa untuk kuat. Malu sendiri saya jadinya. Rasa-rasanya saya masih belum bisa dewasa barang sedikit. Sebenarnya saya tidak pernah bercerita kepada Ibu tentang orang itu secara lengkap-lengkap, hanya potongan-potongan cerita yang itu pun tidak banyak. Saya tidak pernah menyebutkan nama orang itu kepada Ibu, tapi adik saya sering meneriaki namanya lengkap saat saya sedang di rumah. Ibu seolah-olah tidak tahu, tapi saya rasa ibu tahu segalanya. Ibu lebih tahu tentang saya tanpa saya sadar. Ibu tidak banyak berkomentar saat saya bilang saya patah hati. Ibu malah bertanya keadaan saya setelah dua minggu lalu saya habis terjatuh. Apakah luka saya sudah sembuh ? Ibu malah menyuruh saya belajar lebih giat, ibu menyuruh saya untuk tidak terlampau boros dalam berbelanja. Ah, Ibu terkadang saya malu sendiri.
Kalau saya boleh bercerita lagi, Ibu membiarkan saya jatuh cinta. Syaratnya cuma satu, saya bisa menjaga diri. Namun ada satu syarat yang tidak Ibu katakan tapi diam-diam Ibu harapkan. Semoga saya tidak merasakan apa yang pernah Ibu rasakan. Saya mengAamiin-i nya. Namun sayangnya, saat ini saya malah merasakan hal yang sama meski dengan keadaan yang jauh lebih ringan. Ah, Ibu saya tahu bagaimana rasanya ternyata. Saat ini saya cuma bisa tersenyum menuliskan hal ini. Tuhan memberikan saya ibu yang kuat sekali lahir batinnya. Saya  rindu kepada Ibu. Saya rindu sekali. Saya rindu makan masakan Ibu, saya rindu dimarahi karna saya cuma menghabiskan seharian penuh untuk duduk di depan laptop dan menonton anime, saya rindu berdebat dengan ibu, saya rindu cerita-cerita ibu, saya rindu saat Ibu menyuruh saya mencabuti ubannya yang sebenarnya tidak seberapa dan saya mencoba mencoba menolaknya dengan berbagai alasan. Ah, saya rindu Ibu. Benar-benar rindu sekali rasanya.

Ibu, saya masih belum benar-benar tegar, tapi setidaknya ada sedikit yang membuat saya lebih membaik setalah saya menelpon ibu tadi malam. Meskpiun saat ini saya masih rindu kepada orang itu, meskipun saya belum bisa baik-baik saja sepanjang hari, meskipun saya masih labil sekali, setidaknya Ibu sudah menyuruh saya untuk lebih kuat sebagai perempuan. Perempuan memang demikian. Ia lebih sering menangis, ia lebih sering resah, ia lebih sering merasa bersalah,  dan ia lebih sering menggunakan perasaan. Saya pernah menanyakan apa yang anda ketahui tentang perempuan. Namun, satu hal yang pasti adalah perempuan itu sebenarnya diciptakan lebih kuat ketimbang lelaki, terlebih mengenai perasaan~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Left a comment if you want ^^