Dua minggu
sudah terhitung sejak hari itu. Selama itu pula saya belajar banyak hal tentang
pengendalian perasaan, emosi, ketegaran, kepura-puraan, bersikap wajar dengan
basa-basi, belajar untuk sabar dan mengikhlaskan, dan yang jelas belajar untuk
lebih bersikap dewasa atas segala hal yang terjadi. Akhir-akhir ini sepi
sekali. Perlahan satu-satu mulai pergi. Perlahan satu-satu mulai meninggalkan.
Sejujurnya saya lebih menyukai sepi ketimbang suasana ramai, tapi saya paling
tidak suka kesepian. Saya suka sendiri tapi tidak sendirian. Saya sadar setiap
hal yang datang pasti akan pergi. Tapi yang saya herankan apakah memang harus
selalu demikian ? Termasuk tentang hubungan baik ? Memang, hak setiap orang
untuk pergi dan tinggal tapi disamping itu ada juga hak orang lain untuk
bertahan dan meminta kejelasan. Saya bisa mengatakan saya baik-baik saja, tapi
tidak untuk setiap saat. Kadang saya memang benar baik-baik saja, namun banyak
kacaunya, banyak menungnya, banyak resahnya.
Saya jadi
teringat dengan pertanyaan saya kepada seseorang penyair perempuan : “ Kak, apa
alasan kakak untuk menulis ? Beliau menjawab kira-kira begini : “Dik, menulis itu membebasakan diri
dari kesepian.” Lalu saya juga bertanya kepada seseorang yang lain : “Bang,
menurut abang puisi itu apa ?” Katanya : “Puisi itu kejujuran, Put. Disanalah
kita bisa jujur terhadap apa saja.” Untuk orang-orang yang bertanya mengapa
saya selalu menuliskan apa yang saya rasakan. Saya hanya lelah untuk bercerita
kepada manusia. Manusia itu semua nya sama saja, terlampau sering khilaf dan
terlampau pandai. Manusia terlampau pandai untuk berpura-pura tulus,
berpura-pura peduli dan berpura-pura mencintai. Manusia juga terlampau pandai
memberikan kata-kata dan janji. Saya cuma lelah untuk bercerita tentang
dongeng-dongeng kepada orang-orang pandai. Apalagi dongeng yang saya ceritakan pada
akhirnya cuma dianggap sebagai cerita anak-anak. Ah, mungkin memang benar.
Dongeng kurang cocok untuk orang-orang
yang berbicara dengan dan tentang fakta. Dongeng bukan untuk orang dewasa. Dongeng
hanya untuk kaum bisa mempercayainya. Saya
seorang pendongeng amatir. Tidak ada yang percaya dongeng yang saya ceritakan
selain tiang listrik, jalan raya, aspal, lampu, genangan air setelah hujan, air
dalam baskom, langit yang saya pandangi dari atas atap, angin, dan beberapa
orang-orang yang mempercayainya. Lagi pula yang paling paham dongeng yang saya
ceritakan cuma Tuhan dan tulisan. Maka dari itu mengapa saya senang menulis
jika saya sedang ingin bercerita. Saya merasa bebas, saya merasa tidak
sendirian, saya tidak kesepian dan saya bisa jujur untuk menceritakan apa saja
kepada orang-orang dewasa yang ingin tahu dan sedikit mempercayai cerita-cerita
saya.
***
Tadi malam saya
menelpon Ibu dan mengatakan bahwa saya sedang patah hati. Ibu bilang patah hati
itu hal biasa, tidak usah terlampau dipikirkan. “Belajarlah dari Ibu”, Ibu
bilang demikian. Saya malah jadi sedih sendiri. Rasa-rasa nya saya terlampau
lemah menjadi perempuan saat saya mengadu patah hati kepada ibu. Ibu selalu
tegar, mengapa saya tidak bisa mencoba untuk sedikit tegar ? Ibu selalu kuat,
mengapa saya tidak mencoba untuk sedikit lebih kuat ? Saya sering mengatakan bahwa perempuan harus kuat,
tapi kenyataannya malah saya yang tidak bisa untuk kuat. Malu sendiri saya
jadinya. Rasa-rasanya saya masih belum bisa dewasa barang sedikit. Sebenarnya
saya tidak pernah bercerita kepada Ibu tentang orang itu secara
lengkap-lengkap, hanya potongan-potongan cerita yang itu pun tidak banyak. Saya
tidak pernah menyebutkan nama orang itu kepada Ibu, tapi adik saya sering
meneriaki namanya lengkap saat saya sedang di rumah. Ibu seolah-olah tidak
tahu, tapi saya rasa ibu tahu segalanya. Ibu lebih tahu tentang saya tanpa saya
sadar. Ibu tidak banyak berkomentar saat saya bilang saya patah hati. Ibu malah
bertanya keadaan saya setelah dua minggu lalu saya habis terjatuh. Apakah luka
saya sudah sembuh ? Ibu malah menyuruh saya belajar lebih giat, ibu menyuruh
saya untuk tidak terlampau boros dalam berbelanja. Ah, Ibu terkadang saya malu
sendiri.
Kalau saya
boleh bercerita lagi, Ibu membiarkan saya jatuh cinta. Syaratnya cuma satu,
saya bisa menjaga diri. Namun ada satu syarat yang tidak Ibu katakan tapi
diam-diam Ibu harapkan. Semoga saya tidak merasakan apa yang pernah Ibu
rasakan. Saya mengAamiin-i nya. Namun sayangnya, saat ini saya malah merasakan
hal yang sama meski dengan keadaan yang jauh lebih ringan. Ah, Ibu saya tahu
bagaimana rasanya ternyata. Saat ini saya cuma bisa tersenyum menuliskan hal
ini. Tuhan memberikan saya ibu yang kuat sekali lahir batinnya. Saya rindu kepada Ibu. Saya rindu sekali. Saya rindu
makan masakan Ibu, saya rindu dimarahi karna saya cuma menghabiskan seharian
penuh untuk duduk di depan laptop dan menonton anime, saya rindu berdebat
dengan ibu, saya rindu cerita-cerita ibu, saya rindu saat Ibu menyuruh saya
mencabuti ubannya yang sebenarnya tidak seberapa dan saya mencoba mencoba
menolaknya dengan berbagai alasan. Ah, saya rindu Ibu. Benar-benar rindu sekali
rasanya.
Ibu, saya masih
belum benar-benar tegar, tapi setidaknya ada sedikit yang membuat saya lebih
membaik setalah saya menelpon ibu tadi malam. Meskpiun saat ini saya masih
rindu kepada orang itu, meskipun saya belum bisa baik-baik saja sepanjang hari,
meskipun saya masih labil sekali, setidaknya Ibu sudah menyuruh saya untuk
lebih kuat sebagai perempuan. Perempuan memang demikian. Ia lebih sering
menangis, ia lebih sering resah, ia lebih sering merasa bersalah, dan ia lebih sering menggunakan perasaan. Saya
pernah menanyakan apa yang anda ketahui tentang perempuan. Namun, satu hal yang
pasti adalah perempuan itu sebenarnya diciptakan lebih kuat ketimbang lelaki,
terlebih mengenai perasaan~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left a comment if you want ^^