Saya pernah mati rasa sekali dalam hidup saya dan saya harap itu
untuk yang pertama dan terakhir dalam hidup saya. Tidak merasakan apapun,
membiarkan segala nya berjalan begitu saja. Tidak ada lagi senja yang sendu,
malam yang sepi, pagi yang berapi-api dan hujan yang membuncah segala bentuk
kenangan dan perasaan yang tumpah ruah. Tidak ada tulisan, tidak ada puisi,
tidak ada sajak-sajak. Tidak ada air mata, tidak ada sedu sedan, tidak ada
senyum atau tertawa. Pun kalau ada, hanya sebatas luapan emosi sederhana khas
kerja otak bagian kanan. Emosi yang menandakan saya masih sebagai manusia yang
masih berperasaan meski saya sedang mati rasa. Hari-hari berjalan begitu saja
tanpa sesuatu yang dapat dikenang dan dihayati meski sepersekian bagian nya. Banyak
hal yang dilewatkan saat bisa dirasakan. Dan sungguh, menjadi perempuan yang
tidak berperasaan itu bukanlah hal yang menyenangkan.
Alasan mengapa saya bisa mati rasa itu sebenarnya sederhana. Karna membiarkan
perasaan ini mati secara perlahan atau lebih tepatnya dibunuh secara perlahan
dengan cara menikamnya sedikit-sedikit sampai dalam. Tiap kali terkenang, tiap
itulah ditikam makin dalam sampai mati. Bahkan saya pernah mencoba setiap saat.
Kala hujan rintik-rintik atau hujan lebat sekalipun. Atau saat matahari sedang
terik. Atau saat malam, saat saya sedang sendirian dikamar dan segalanya malah
terasa makin sepi. Saya juga pernah membicarakan tentang “PANDUAN MEMBUNUH MASA
LALU” bersama teman bercerita saya. Teman yang selalu mendengar keluh kesah
saya tentang apa saja. Dia merasakan sesuatu yang rumit dengan telaganya sedang
saya merasakan hal yang sama dengan seorang lelaki. Kami sama-sama mencoba
memahami “PANDUAN MEMBUNUH MASA LALU” dan beberapa waktu sesudahnya bekerja. Kami
benar-benar menjadi orang yang mati rasa. Berkelana kemana-mana dan menyibukan
diri dengan banyak hal meskipun kadangkala terpaksa dan dipaksa untuk sibuk.
Dia beruntung, mendapat dua bulan untuk mengabdi dengan KKN nya. Sedang saya
menyedihkan. Setelah berhenti bekerja di pasar, saya melanjutkan menyiar radio.
Ini hal yang menyenangkan sekaligus sulit. Saya senang dapat berbicara banyak,
menghabiskan seharian dengan duduk di studio dan memainkan lagu-lagu. Dan saya
sulit, ketika di beberapa segmen saya harus memutarkan lagu-lagu yang membuat
saya harus mengingat dan terkenang makin banyak. Disitu saya harus bertarung. Membunuh
dan menikam lebih banyak. Kadang saya menang tapi saya lebih sering kalah. Jika
saya kalah saya biasanya hanya terdiam dan tercenung serta membiarkan diri saya
dikuasai berbagai macam kenangan yang menghujani sekonyong-konyongnya. Saya tidak
menangis, meskipun saya ingin tapi saya sudah tidak bisa menangis sebab
perasaan saya hampir mati. Atau saya akan keluar studio sejenak dan duduk
memandangi jalan raya. Memandang kendaraan yang lewat sambil mengingat jalan
raya di kota ini. Semenjak kejadian itu dan perenungan selama saya liburan saya
kelihatan tambah kuat padahal sebenarnya saya lemah. Manusia kuat karna
perasaannya sedang saya tidak memilikinya. Saya kuat hanya jarna saya mencoba
membunuh dan melupakan segalanya. Membiarkan segala hal, tidak mengingat-ingat
dan berpura-pura. Saya sungguh merasa menyedihkan sekali.
Semakin hari, semakin saya sering merenung, saya kira membunuh perasaan
bukan hal yang tepat. Saya memang menjadi kuat tapi saya kehilangan banyak hal.
Saya kehilangan rasa senang, saya kehilangan rasa sedih, saya kehingan tawa,air
mata, senyum, saya kehilangan nafsu dan segala hal. Terlebih saya kehilangan
puisi-puisi. Saya benar-benar miskin kala itu dan saya benar-benar sepi dan
sendirian. Sejatinya mengembalikan segala hal dan membuatnya bermuara kepada
Tuhan adalah jalan yang benar. Saya tak harus menjadi perempuan yang ditinggal
mati perasaannya. Saya tidak harus mengahadapi segalanya secara
kekanak-kanakan. Saya sudah 19 dan kata orang itu saya tidak boleh lagi cengeng.
Saya sudah besar namun saya belum dewasa. Kalau saya mengingat fase ini yang dalam
hidup saya, saya merasa saya benar-benar dilakahkan oleh diri saya sendiri.
Beberapa minggu yang lalu banyak hal yang menghidupkan kembali
perasaan saya yang sekarat. Tuhan, ibu saya, sahabat-sahabat saya, kakak saya, terlebih orang itu. Mereka
menghidupkan kembali perasaan saya. Menghidupkan perasaan saya , bukan berarti
saya kembali serupa perempuan sebelum kematian perasaannya yang melulu sedu
sedan karna kenangan. Perasan saya yang hidup kembali mengajarkan banyak hal
dalam hidup saya. Saya menjadi kuat dengan perasaan saya bukan karna kematian perasaan
saya. Saya bisa menulis kembali dan saya rasa puisi itu benar-benar indah meski
perasaan saya baru hidup sepenuhnya. Meskipun puisi yang saya tuliskan belum
mampu membawa saya pergi jauh, tapi saya bahagia karna saya bisa menulis kembali
dengan perasaan. Sejujurnya puisi itu puisi cinta untuk tuan yang saya tulis
dengan sepenuh hati dan perasaan. Menuliskannya begitu menyenangkan karna saya
menuliskannya denagn perasaan saya. Meskipun
untuk satu puisi ini saya menghabisakan 7 jam. Sengaja saya menggunakan
perempuan sebab saya masih tak ingin berterus terang.
KEPADA PEREMPUAN RUPA RIMBO
TUJUH DANAU
Duhai,
Menjemputmu ke rumah
panggung dengan,
Langgam Melayu Kampar
berkacak
Buat aku sangsi
Terlebih seminggu selepas
hari raya
Saat takbir masih menggema
Bersaing dengan deru
pompong
Membelah senyap rimba
Aku kecut
Kemudian ciut di Tobu
Bajambak
Sebab ada Datuk Mojolelo
Bapak orang Melayu
Serta orang-orang kenyang
Beranak-pinak melahap
kapiek, belida, kapa, baung dan
segala yang sudah dimasak
Dan dijujung di atas kepala
sama-sama
Padahal aku
Harus mengahadap Datuk
Bagindak
Untuk mengatakan
Bahwa gadis Domo ini
memiliki keteduhan lebih dari Rimbo Tujuh Danau
Di matanya ketentraman
tersadai
Rengas menahun sampai
ratusan
Simpur melarat kabur
Dan Beranti,
Tak kunjung dinanti mati
Karet tegak sejajar di
alisnya
Karena kelimpahan Tuhan
pada getah
Menjadikan Bapaknya
Beranak cantik sekali
Pada kelopaknya
Selindit kejar-mengejar
Serupa sepasang kekasih
yang,
Tidak ingin ditinggalkan
sendirian
Hidungnya bangir
Dan kita pun mandi di tepian
Balimau dengan air Kampar sampai
kasai
Sebelum meminta kerilaan
Kepada orang-orang tua
Dan aku ingin
Menyusuri ceruk bibirmu
yang penuh lopak
Aku tak peduli
Meski harus kehabisan darah
karena acek keparat
Tetap kususuri jua telaga
di bibir itu
Melewati jalan setapak yang
panjang dan becek
Sebab kau mengandung
Sempirai dan lukahku yang,
Tiada umpan
Kita beranak ikan-ikan
Duhai,
Kau cantik sekali
Delapan danau selatan
Berpagut pada wajahmu yang
selalu memerah saat kusentuh
Tuok Tonga dan Baru
Punya lazuardi ketika siang
di dekat bulu matamu
Disebelah atas bibir
kananmu
Tahi lalat itu diigalkan
Tanjung Putus
Pinang Dalam dan Pinang
Luar dipisah kuala
Di belahan dagumu
Saat kita bertatapan
Seketika Rayo, Bunte, dan
Tanjung Baling menjadikan
Aku kuyup dan larat
Pada tubuhmu yang tidak
mengenal dasar
Duhai,
Ketika kita menunggu
Matahari lingsir di tepi
beting Kampar
Kuciptakan mambang dan
jimbalang
Agar abadi rupamu
Tak jadi abu yang hangus
terbakar
Pekanbaru, 10 September
2016
Terimaksih kepada orang-orang yang menghidupkan perasaan saya
kembali. Sungguh saya merasa lebih kuat dari sebelumnya. Terimaksih kepada
sahabat-sahabat saya yang setia mendengar keluh kesah saya. Kepada kakak saya,
terimakasih mengajarkan banyak hal tentang kasih sayang kepada saya. Saya yakin
kita adalah perempuan yang kuat dengan perasaan. Terimakasih kepada Tuan yang
menghidupkan perasaan saya di waktu yang tepat saat saya harus menulis puisi
untuk lomba meskipun saya belum berhasil. Terimaksih banyak.
Salam Hangat
Putri yang sudah berperasaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left a comment if you want ^^