Setelah bekerja sepuluh
hari menjelang lebaran, ada beberapa hal yang ingin saya tuliskan. Sepuluh hari
mungkin waktu yang sebentar dalam mengobservasi suatu kejadian tapi mari kita
coba tuliskan apa yang sudah saya coba
amati. Pasar. Adalah tempat berkumpulnya semua golongan dan kalangan dalam
memenuhi kebutuhan. Maklum, Payakumbuh masih kota kecil jadi kami belum punya
pusat perbelanjaaan modern seperti mall. Ada plaza, hanya saja sebagai
masyarakat yang belum terlalu suka bergaya modern dalam berbelanja, pasar
adalah satu-satunya sentral dalam transaksi jual beli segala kebutuhan. Pasar
Payakumbuh sudah ada sejak tahun 1920-an, terdiri dari dua blok. Blok Barat dan
Blok Timur. Kebetulan saya saat itu menjadi karyawan disalah satu toko jilbab
di Blok Barat. Blok Barat cenderung menjual pakaian, jilbab, aksesoris, tas,
buku, dan kelontong. Blok Barat banyak mengalami perubahan. Sedangkan di blok
timur yang bersebelahan dengan terminal belum terlalu banyak berubah, masih dan
bentuknya hampir sama saat pertama kali saya
ke pasar. Masih dengan deretan toko mas, toko kue, dan toko harian, toko
tikar, dan toko buku tua langganan saya.Dan juga toko baju meski tidak sebanyak
dan selengkap di blok barat. Selama sepuluh hari banyak sekali kejadian dan
pelajaran yang mampu memberi makna lebih dalam kehidupan. Arti kata
berjuang,keluarga, kebersamaan, tolong menolong, usaha, jual beli, tenggang
rasa, lelah, uang, mengahargai, dll. Terlampau banyak pengajaran dari Tuhan
dari kejadian-kejadian di pasar.
Saya akui mencari uang
itu sulit sangat sulit dan pahit. Meski dua tahun sebelumnya saya juga sudah
mulai bekerja, namun saya kira tahun ini saya mendapat arti lebih tentang uang.
Uang atau upah yang saya terima tidak sebatas angaka-angka. Ada beberapa
perasaan yang ikut disana, perasaan senang dan bahagia dengan teman kerja,
hubungan dengan induk semang, keceriaan dengan tetangga kios, dan kesan dengan
beragam pembeli. Upah yang besar tidak menjamin kebahagiaaan kerja. Justru saya
kira kenyamanan dan kebahagiaan saat bekerja jauh lebih berharga dibanding
segalanya. Kelakar, canda, tawa disela kesibuakan jual beli adalah bonus yang
tak ternilai disamping upah yang saya terima. Tidak besar memang. Rp
30.000/hari dan saya bekerja kurang lebih 10 jam. Dimulai dari membuka kios
jilbab, melayani pembeli, meyusun barang, belanja kebutuhan kios sampai menutup
kios dan buka lagi keesokan harinya. Terlebih empat hari menjelang lebaran.
Saya harus lembur sapai jam 9 atau jam 10 malam, dan di malam takbiran saya
mesti berjualan sampai setengah dua belas malam. Dan saat saya menerima upah
pada malam takbiran, saya bahagia sekali. Rp. 400.000,- selama sepuluh hari dan
ditambah bonus Rp 100.000,-. Tuhan, ini menyenangkan. Kata Ibu uang itu buat
saya saja. Tapi sebagai wujud sayang yang tidak seberapa, saya belikan ibu
sebuah bros untuk lebaran. Warna perak dengan motif dedaunan dengan permata.
Sisanya akan saya gunakan untuk les bahasa Jepang.
Kembali ke pasar.
Setelah saya sedikit paham tentang upah dan uang, saya kira saya ingin menuliskan
tentang perempuan dan pasar. Hampir 85% tenaga kerja di pasar adalah perempuan.
Mulai dari karyawan, boss, pembeli sampai penjaga wc mayoritas adalah
perempuan. Selama seharian penuh saya di pasar, saya hanya sesekali menjumpai
lelaki. Saya tidak tahu mengapa, mungkin salah satu penyebabnya adalah jumlah
kaum kami yang memang 4 kali lipat lebih banyak ketimbang kaum lelaki. Perempuan
dan pasar. Bukan kehidupan yang lembut, bukan kondisi yang menyenangkan. Selama
hampir seharian penuh perempuan-perempuan ini harus harus berbelanja kebutuhan
kios ke Bukitttinggi, berdesak-desakan, berangkat dari Shubuh dan dilanjutkan
melayani pembeli. Ada juga yang sepanjang hari harus duduk di mesin jahit.
Menjahit kain pesananan pelanggan. Ada juga yang harus membeli kebutuhan rumah.
Membeli baju, pakaian dalam, sepatu anak, buku, lauk pauk, dan segala hal yang
diperlukan. Ada juga yang harus menjaga wc. Ada yang harus mengumpulkan karton
bekas dan sampah-sampah untuk diganti menjadi lembar rupiah. Ada pula yang meminta-minta.
Dan semua hal yang saya sebutkan tadi dilakuakn oleh perempuan-perempuan yang
berhasil saya amati selama di pasar. Disamping hal-hal tadi,
perempuan-perempuan ini juga harus menjaga rumah. Beruntung bagi yang
muda-muda. Yang belum punya anak dan suami, seperti saya salah satunya. Tentu,
selepas dari pasar bisa langsung pulang dan mandi serta berbuka puasa dengan
lahap dan beristirahat. Sedang bagi perempuan yang punya keluarga, harus memikirkan
lauk untuk berbuka, anak, suami, dan segala hal.
Lelah bekerja pasti.
Contoh nya saja ibu saya.Tapi Ibu saya sebagai buruh kue bawang yang harus
berangkat selepas Shubuh dengan mengayuh sepeda, kemudian mulai membuat kue.
Dari menipiskan adonan, mencetak sampai menggoreng, berdiang api,
berpanas-panas saat hari sudah mulai tinggi. Belum lagi kesibukan di rumah yang
harus diselesaikan menjelang berangkat kerja. Mempersiapkan makan sahur,
menyuci pakaian, dan mencuci piring, Ibu bilang, saya cukup membantu menjemur
dan membersihkan halaman, menyapu rumah, dan member makan ayam dan itik sebelum
berangkat kerja. Kata ibu, biar saya tidak kedinginan. Ibu, saya memang belum
tangguh sama sekali. Kemudian, contoh lain yang membuat saya terdiam adalah
saat iboss saya bercerita bahwa anak nya tadi malam berulah dan dimarahi
ayahnya, saat itu anak nya menangis dan berkata : “Ma, ambil libur lah lagi”.
Well, perempuan memang
harus kuat-kuat terlebih dalam perasaan. Siapa yang tak terdiam dan hening
mendengar anak berucap seperti itu. Saya hanya tersenyum. Dalam hari saya
membatin “Menjadi perempuan itu sulit dan tidak mudah. Ada kehidupan yang lain
yang bergantung pada kita apalagi setelah berkeluarga. Tapi menjadi perempuan itu juga nikmat yang
paling indah. Sebab pada perempuan lah kemuliaan dilimpahkan.” Perempuan memang
survivor sejati. Tidak memiliki
kekuatan seperti lelaki, tidak terlampau kuat, tapi beban dan tanggung jawab
diambil begitu besar. Mengurus anak, mengurus suami, mengurus rumah,
mepertimbangkan segala hal agar berjalan lancar, terlebih di abad 21 saat
emansipasi sudah lama berlaku, peran wanita dalam kehidupan bertambah. Tak
jarang perempuan merangkap menjadi tulang punggung sekaligus tulang rusuk.
Menopang kehidupan sekaligus melindungi. Saya kira Tuhan benar-benar menciptkan
perempuan itu istimewa sekali. Dengan fisik yang tidak terlalu kuat, tenaga
yang tidak terlampau memadai, Tuhan menciptakan perempuan dengan kekuatan
perasaan yang lebih. Perasaan sayang dan cinta pada keluarga, perasaan yang
kuat untuk penghidupan yang lebih layak, perasaan yang kuat untuk bertahan,
menjadikan keterbatasan pada kekuatan fisik bisa ditangguhkan. Perempuan memang
kuat dalam perasaan. Air mata yang kadang tumpah saya kira malah menambah
kekuatannya.Bukan berarti tulisan ini saya mengatakan bahwa perempuan lebih
daripada lelaki. Tentu tidak, perempuan masih dan sangat membutuhkan lelaki.
Hanya saja saya ingin mengatakan bahwa ternyata perempuan memiliki kekuatan
yang lebih yaitu perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left a comment if you want ^^