Tulisan
ini bukan berarti aku menyalahkan mu, bukan berarti aku berharap banyak pada
mu, bukan berarti begitu. Tulisan ini lah yang berbicara apa yang aku rasakan,
saat tidak ada yang mengerti bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya, bagaimana
susahnya. Tulisan ini yang menguatkan saat lisan tak mampu lagi menggambarkan,
saat air mata tak mampu lagi berkata-kata. Terimakasih kertas, terimakasih
pena. Aku menyayangi mu !
1. SATU
Ma, dalam gelap malam ditemani
suara binatang yang aku tak tau namanya, aku kembali merenung. Kali ini bukan
soal hidup tapi soal CINTA. Terlalu cepatkah aku untuk berbicara masalah ini Ma
? Aku tahu, aku tak bisa menyimpulkan perasaan ini adalah cinta, jangankan
cinta sayang pun belum tentu. Tapi sejak beberapa hari lalu, wajah lelaki itu
terus muncul Ma. Tak kenal tempat, tak kenal waktu. Aku pun terkadang merasa
bingung, kenapa wajah lelaki itu yang kini hobi sekali muncul disela waktu ku ?
Tak mengganggu memang. Disebut apakah ini Ma ? Hatiku tak sedikit pun bergetar
saat bersamanya, akan tetapi aku begitu senang melihatnya, senang berbicara
dengannya, bahkan diam-diam aku mengharapkan telponnya. Aku selalu ingin
bersamanya, apakah ini namanya suka atau hanya terpesona ?Hatiku tak ada
getarannya, jantungku tetap konstan, tak kejar-kejaran degupnya. Tapi entah
kenapa aku selalu ingin bersamanya Ma, saat menulis inipun aku sedang terbayang
wajahnya. Wajah yang dulu aku pikir bengal, sekarang mendadak begitu
menggemaskan. Wajahnya berbeda sekarang Ma. Aku pun tak habis pikir, mengapa
hal bodoh ini bisa terjadi ? Apakah aku terlalu cepat atau aku yang terlalu
tergesa-gesa menyimpulkannya Ma ? Wajah lelaki itu terus muncul.
Izinkan aku berkisah sejenak
tentang lelaki itu. Lelaki yang saat pertama kali aku temui begitu aneh, tolol,
bahkan tak beraturan. Ngomong asal ngelantur, seenak isi perutnya. Lelaki yang
aku aku anggap biasa-biasa saja sampai suatu ketika aku mulai dekat dengan nya.
Semua berjalan biasa-biasa saja sampai beberapa hari yang lalu. Saat wajahnya
mulai tergambar jelas dalam ilusi khayalanku. Wajah yang selalu datang tanpa
permisi, tanpa basa-basi. Wajah yang selalu berubah ekspresinya saat datang.
Kadang riang, datar, bahkan kadang marah. Ma, dia lelaki yang ajaib bahkan aku
pun tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Lelaki yang suka bercanda, lelaki
yang tak lepas dari rokoknya, lelaki yang aku kira menjalani hidup ini begitu
ringan, begitu lepas. Lelaki yang begitu santai, begitu bebas tapi denagn
perencanaan matang.Dan juga lelaki itu menghormtai ibunya,. Lelaki yang aku
sendiri pun suka sok tahu, sok kenal, dan sok paham betul dengan dirinya.
Ma, sudah pantaskah aku untuk
mencinta ? Sudah bolehkah hati ini terjatuh lagi untuk kesekian kalinya ? Sudah
bolehkah hasrat dan keinginan memiliki itu ada ? Tapi, satu pertanyaan yang
lebih penting dari apapun yang ingin aku tanyakan. Pertanyaan yang penting
sekaligus menakutkan. “MA, SUDAH SIAPKAH
AKU UNTUK PATAH HATI JIKALAU RASA INI TUMBUH SENDIRI ?”
Pekanbaru, 17 Februari 2015 (22.59)
2.
DUA
Teruntuk
lelaki yang aku kagumi saat ini. Terimakasih telah ada di sela hidupku, di sela
waktuku. Kalu boleh jujur,wajahmu senantiasa terbayang, setiap waktu, hampir
setiap jalan waktu detik demi detik. Sudah lewat 40.000 menit wajahmu
senantiasa menggantung dalam angan ku, dalam diiam, dalam renungan ku. Kau tau
tidak ? Sebenarnya aku merasa benci, merasa kesal, merasa marah. Kenapa harus
kau ? Kenapa bukan orang lain yang mungkin asing dalam hidupku ?Kenapa harus
kau ? Orang yang selalu muncul, selalu bertemu, selalu nampak muka, selalu
bersapa atau sekedar menatap. Kenapa harus engkau ? Aku tak pernah membayangkan
kenapa bisa kau yang menjadi lelaki yang kau kagumi untuk saat ini ?
Pekanbaru,
16 Maret 2015
3. TIGA
Kalau
boleh ku kirimkan salam
Ku
titip sepucuk pesan cinta
Ku
sematkan rindu pada bintang yang sedang
menggantung
Oh,
rembulan
Berbisik
genit pada awan saat ini
Sedikit
malu-malu
Ku
sibak lembar baru, halaman baru
Seulas
senyum, simpul, sederhana
Menggantung
terlukis pada rupa
Sialan,
rasa ini semakin gila menjadi
Menyerang
bertubi-tubi, hantam sana, sikut sini
Bekas
luka yang baru selesai terjahit kebal sudah
Tak
robek apalagi terbuka
Lagi-lagi
bulan tertawa
Mencibir,
mengolok-olok
Ingin
ku balas
Tapi
logika menolak
Apa
yang bulan cemoohkan itu nyata
Pekanbaru,
16 Maret 2015
4. EMPAT
LAGI
Tuhan,
pecundang ini jatuh cinta
Tidak,
tidak, tidak
Pecundang
ini sedang mencoba jatuh cinta
Lagi
Sedang
mencoba menata hati
Lagi
Sedang
mencoba menyusun keping
Kembali
Dibawah
lautan bintang
Dibawah
ejekan bulan
Dalam
hening malam
Lewat
ode ini ingin ku sampaikan
Tuhan,
aku mulai jatuh cinta
Pekanbaru,
16 Maret 2015 (23.54)
5. LIMA
Astaga.
Apakah hati ini tak lelah untuk khawatir ? Ya aku khawatir sampai aku tak bisa
lagi berpikir. Apakah ia juga khawatir ? Entahlah, yang jelas simponi malam ini
cukup tepiskan rasa itu meski sedikit. Aih, lagi-lagi aku khawatir. Hai bulan
tolong sampaikan padanya aku khawatir dan aku butuh penawar. Aku butuh kabar.
Pekanbaru,
29 Maret 2015
6. ENAM
Entahlah,
sepertinya bunga-bunga di hatinya mulai layu. Mulai kuncup tak lagi mekar.
Hatinya hari ini seakan mati rasa. Bukan tertikam duri, melainkan hanay mati
rasa saja. Teruntuk lelaki yang ia kagumi. Mungkin lelah saja hatinya resah,
khawatir, kecewa, bahkan terkadang dipermainkan. Mungkin hatinya mulai sadar
akan realita dan kenyataan setelah beberapa bulan yang lalu ia terbuai ilusi
semata. Ia mulai terbangun dari mimpi-mimpi konyolnya. Helaan napas panjang
hentikan penantian sementara. Ode yang ia simpan, ode yang ia goreskan, dan ode
yang ia sematkan teruntuk lelaki yang ia kagumi, HILANG.
Pekanbaru,
7 April 2015
7. TUJUH
Aku
sudah hampir meledak-ledak. Semburat umpatan, makian, atau apapun lah itu
namanya sudah siap untuk ku muntahkan. Wajahmu, setiap inci dari wajahmu itu
membuat hatiku tambah kesal saja. Sedikit kata yang kau keluarkan tadi siang
cukup seketika menghancurkan, meluluhlantahkan. Rata, sama rata dengan titik
terdalam permukaan bumi. Aih, aku terlampau terbawa suasana. Pun kata-kata yang
ku ucapkan tadi terlampau hiperbola. Pergi sja ke neraka. Kesal setengah mati
aku melihat muka mu. Aih, lagi-lagi aku menghela napas. Entah, aku pun tak tahu
gunanya apa.
Pekanbaru,
9 April 2015
8. DELAPAN
Ini
terkhusus lagi untuk dirimu satu. Dirimu satu. Cukup satu dirimu dalam satu
waktu. Terkadang entah kenapa kamu ini selalu yang datang, selalu muncul
diantara cela senggang. Terkadang kau datang dengan sopan, bersahaja dan
baik-baik saja. Tapi entah kenapa juga kau datang dengan mengesalkan ,
memuakan, bahkan terkadang hampir membuat urat leher ku putus. Hati ku hampir
meledak-ledak. Kalau aku mau meminta, aku tak mau dirimu itu satu, dirimu yang
satu adalah kamu. Aku tidak mau bahkan aku tidak sudi kalau itu kamu. Tapi apa
hendak dikata, asa terlanjur. Birahi mulai mengambil peran. Aku tak tau
kedepannya bagaimana, tetapi kita lihat saja. BERTAHAN atau MENGHILANG.
Pekanabaru,
11 April 2015
9. SEMBILAN
Teruntuk
hari. Hari ini meskipun tetap ku bawa nama Hari, kau tetap akan ku kutuk, tetap
ku serapahi. Mengapa kau ada, pun pada akhirnya tak nyata. Terimakasih akan
selalu ku ucapkan atas segala sesuatu yang telah tercurahkan. Terimakasih atas
panas, hujan, atas gemuruh yang datang 24 jam sekali. Aku menyukainya, terutama
hujan. Saat semua basah, saat bau basah tanah mulai menguap. Tercium indra. Dan
setiap tetes hujan yang turun atas detik yang turut berperan, setiap detak
jantung, setiap pacu aliran nadi, semoga senantiasa bersama nama-Nya. Disela
sibuknya semesta, terselip rasa, terselip rindu.
Pekanbaru,
2015
10. SEPULUH
Tak
kasihan kah ?Tak iba kah ? Kau tahu kan bahwa menunggu itu tidak senikmat
menikmati rembulan dengan sang pangeran dibuai similir angin malam minggu.
Apakah aku harus sampai ke gorong-gorong, muncul, timbul, tenggelam,
tersungkur, terjungkang untuk menunggu kabar mu ?
Pekanbaru,
2015
11. SEBELAS
BUTUH
BERAPA LAMA LAGI
Butuh
berapa lama lagi ?
Apakah
kau mau menunggu sampai daun gugur satu-persatu ?
Apakah
kau mau menunggu sampai laut menguap hingga kering ?
Apakah
kau menunggu selama itu ?
Butuh
berapa lama lagi ?
Bila
masa, bila waktu
Sama-sama
sepakat laknat dirimu
Apakah
kau mau diam setelah kau dipecundangi detik
Apakah
kau sanggup berurai tangis lagi ?
Butuh
berapa lama lagi ?
Kesal
aku setengah mati
Menua
menunggu, membusuk bersabar
Tukak
semakin menjadi saja
Kapankah
akan kau tutup mulut anjing-anjing itu ?
Yang
ku tau, kau baru saja mengumpat-umpat
Tanpa
berani keluar
Menghardik
sambil melempar batu
Gonggongannya
semakin kencang saja
Butuh
berapa lama lagi ?
Pekanbaru,
26 Mei 2015
12. DUA BELAS
UMPATAN
SEMUT MERAH
Malu
aku diludahi semut merah
Sambil
berjalan lambat-lambat
Mereka
mengumpat-umpat
“Persetan
Bajingan”
Umpatan-umpatan
semut merah
Pecah
sunyi di siang merekah
Lagi-lagi
aku diumpat semut merah
“Pulang
saja sana
Bebal
kau pelihara
Pulang,pulang,pulang”
Diiring
sepoi angin membelai manja
Umpatan-umpatan
semut merah
Mereka
mengumpat, sambil berbaris rapat-rapat
Ciut
juga nyali ku karena semut merah
Satu
kali, dua kali
Untuk
ketiga kali, semut merah tak lagi mengumpat
“Bukan
kah telah ku ingatkan sayang ?
Antara
semu dan rindu hanya berbatas sekat
Bedanya
tipis-tipis, sakitnya berlapis-lapis
Sayangku,
sayang
Menunggu
atau pulang”
Pekanbaru,
26 Mei 2015
13. TIGA BELAS
ENGKAU
DATANG PUKUL BERAPA
Engkau
datang pukul berapa ?
Di
halte bis kota, nona muda berkaca
Dengan
lipstik merah muda, dipoleskannya merona
Nona
muda menunggu sambil berkaca
Satu
jam
Dua
jam
Engkau
datang pukul berapa ?
Nona
muda mulai resah juga
Merona
bibirnya, perlahan luntur
Derai-derai
bulir, perlahan menunggu gilirannya
Nona
muda semakin gundah saja
Selangkah
ke kiri, balik ke kanan
Sebentar
duduk, sebentar berdiri
Aduh,
aduh
Sesak
napas nona muda menahan kecewa
Engkau
datang pukul berapa ?
Lelah
aku menunggu
Menunggu
engkau datang
Menunggu
bersama cinta yang aku bawa sejak tadi
Wahai
kekasih,
Engkau
datang pukul berapa ?
Pekanbaru,
26 Mei 2015
14. EMPAT BELAS
Ternyata
menyayangi mu sesakit ini, seperih ini, sepahit ini, serumit ini, dan begitu
berbelit-belit. Hanya sakit yang teramat dalam, luka yang teramat perih yang
aku rasakan sejak beberapa hari yang lalu. Kau sebut apakah SAYANG mu iu ?
Janji ? Kata pengobat hati, atau kata berbisa hingga hati ini lupa diri ? SAKIT
sayang, teramat sakitnya. Pun kalau tau jadinya akan begini, lebih baik aku
bungkam, diam dan hanya memendam. Menyesal aku menulis begitu panjang lebar,
begitu dalam dan pada akhirnya, engkau benar-benar menjadi harapan yang begitu
nyata sebagai khayalan.
Sampai
detik ini aku sedang mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja, seolah-olah hati
ini lukanya tidak menganga. PERSETAN. Aku tidak bisa bersandiwara aku baik-baik
saja. Terlampau dalam kau tancapkan, tapi terlalu pelan kau cabut duri dalam
itu. Hingga hanay sakit yang bertubi-tubi aku rasakan. Setengah mati aku
bersusah payah menahan amarah saat kau berubah. TOTAL sekali kau berubah. Bahkan
orang buta pun bisa melihat bahwa kau telah berubah. Persetan dengan
alibi-alibi mu.
Apakah
begini kau menyayangi ku ? Apakah begini kau memastikan aku mampu tersenyum
setelah kau sulut isak ku menjadi jadi ? Beginikah caranya **** ? Begini ? Kalau
boleh jujur, sudah mau bunuh diri aku karena depresi. Tapi, ya sudahlah. Aku
hanay tak mau menjadi beban mu. Aku hanya mampu menereima, aku tak punya hak,
aku tak punya kuasa. Kalau memang begini adanya, kirim kembali saja hati ku ke
tempat semula. Bisa ? Bisakah kau lakukan itu**** ? Letakan hatiku di tempat
semula. Apakah aku meminta terlalu berlebihan ? Apakah terlalu memberatkan ?
Aku menyayangimu ****, meski sekarang aku berdarah-darah tapi tak apa. Aku
tetap menyayangi mu. Pun kalau terluka lagi apa boleh buat, toh yang memilih
adalah aku.
Hatiku
sakit, hati ku luka. Saat aku bukanlah diri ku lagi, saat aku tak lagi di
temapat ku sendiri, saat aku terusir dari rumah ku sendiri, saat aku terjajah
di tanah ku sendiri. Sakit, lagi-lagi sakit. Aku benar-benar ingin mencintai mu
dengan sederhana, tanpa sakit tanpa luka. Meski kenyataanya adalah sakit sangit
sanagt luka, aku menyayangi mu
Pekanbaru,
8 Juni 2015
15. LIMA BELAS
Kita
benar-benar orang yang berbeda. Engkau datang darimana, aku datang entah
darimana juga. Dan kita benar-benar orang yang tidak pernah sama. Kita hanyalah
dua orang yang saling mengenal, bukan dua orang yang saling mengerti. Bahkan,
si tuli pun bisa mendengar teriakan hati kita masing-masing. Meski kita adalah
orang yang berbeda, orang yang tidak sama, entah kenapa aku tetap saja mencoba
mendekat, mencoba lebih akrab. Aku tetap saja berlari-lari, mengejar-ngejar.
Aku tetap saja begitu, bahkan sampai detik ini.
Kita
benar-benar dua orang asing, sekarang. Entah aku yang menjadi asing, entah kau
yang menjadi asing. Asing tak mengerti, seolah-olah kita adalah orang yang baru
saling menyapa pagi ini, lalu bertatapan saling tersenyum. Hanya sekedar kenal
wajah, tanpa tahu aku siapa,tanpa tahu engkau siapa. Begitulah kita beberapa
hari ini. Kita benar-benar dua orang asing yang sering bertemu. Entahlah, seakan
sekarang semua tetap sama tapi ada yang berebeda. Aku bisa berkata, aku
baik-baik saja walau pada kenyataannyaluka ku terbuka menganga. Aku bisa
berkata tidak apa-apa, meski kenyataannya hampir setiap malam aku berlinang air
mata. Aku menyumpah, aku marah, aku lelah, aku susah, biar aku saja yang tahu
rasanya bagaimana.
Entah
kenapa saat aku merasa kau adalah orang lain, saat kau adalah orang asing, ada
sebagian hal yang hilang. Hilang,hampa. Ada sesuatu yang sebelumnya ada,
tiba-tiba hilang. Dan aku merindukan hal yang hilang itu. Aku merindukannya.
Kau hilang, dan menjadi orang lain adalah hal yang sangat menyiksa. Duri kecil
tertancap di tempat tersembunyi, ada namun tak sadar keberadaannya, tapi nyata
sakitnya. Haruskah aku tidak menjadi diriku lagi ? Haruskah aku menjadi orang
lain yang aku sendiri pun tidak kenal siapakah dia ? Haruskah begitu, agar kita
kembali seperti semula, agar kita kembali tertawa seperti sebelumnya, agarkita
kembali berbicara seperti sebelumnya, agar kita bisa sekedar memandang,
tersenyum, lalu tertawa ? Haruskah begitu ?
Pekanbaru,
9 Juni 2015
16. ENAM BELAS
Semalam
kau patahkan pertaruhan ku dengan Tuhan. Setelah empat hari tanpa kabaryang
jelas, kau hubungi aku. Bergetar, berkejar-kejar jantungku saat hendak
mengangkatnya. Bukan hanya sekedar rindu, tapi aku juga takut aku sakit lagi. Aku
tak tahan kalau aku harus mengangis lagi. Aku lelah menangis. Kita benar-benar
orang asing. Meski waktu berjalan selama biasanya, namun rasa, namun cara kita
tak lagi sama menghabiskannya. Kita bebar-benar asing, kita benar-benar
berubah, kita bukan lagi orang yang sama.
Waktu
yang yang ku rasa bisa untuk bahagia beberapa minggu yang lalu, sekarang hanya
terisi oleh omongan basa-basi pembuka percakapan. Omongan yang benar-benar
basi, hambar, tanpa rasa. Seakan satu menit berasa satu jam. Oh, kita
benar-benar menjadi orang asing. Coba dengarkan, coba bandingkan. Apakah merasa
ada sesuatu yang berbeda ? Aku yakin kau pasti merasakan.
Kepada
kita yang sedang mencoba bersikap biasa-biasa saja, padahal ada sesuatu yang
tidak bisa kita katakan baik-baik saja. Kepada kau yang sedang mencoba untuk
bisa berbicara senormal-normalnya tanpa cacat tanpa cela. Kepada aku yang
sedang mencoba bersikap biasa saja. Jujur aku tersiksa, aku ingin hidup biasa-biasa
saja tanpa siksa seperti ini.
Pekanbaru,
10 Juni 2015
17. TUJUH BELAS
Dan
aku benar-benar merindukan mu. Sudah selang beberapa hari, hujan selalu
menggoda ku dengan derai-derai basahnya. Aku merindukan senyum mu, tawa mu,
bengal mu, aku merindukan semuanya. Bahkan aku merindukan asap rokok mu yang
selalu kau hembuskan saat kita duduk berdua, bercengkrama, tertawa berdua,
bercanda, DULU. Dulu, sebelum kita menjadi dua orang asing yang hanya saling
mengenal tanpa saling mengerti. Padahal dulu, kau adalah orang yang selalu
mengerti. Aku benar-benar merindukan mu. Kepada mendung sebelum hujan, kepada
sesak sebelum tangis. Tolong sampaikan rindu tak terbalaskan ini pada asa, pada
sesak dalam dada.
Pekanbaru,
14 Juni 2015
18. DELAPAN BELAS
Kemaren
kita bertemu, beradu mata, salaing pandang. Mataku tepat di matamu. Aku
berbisik dan kau mengiyakan, lalu kita saling tersenyum. Kau tahu tidak, aku
bahagia saat kita bisa saling pandang, saling tersenyum, meski hanya beberapa
menit sebelum kau sadar bahwa kita sedang memainkan peran menjadi “orang asing”.
Tadi kita bicara. Aku bertanya, kau menjawab. Meski hanya sekedarnya, aku
bahagia ternyata kita masih bisa berbicara. Sedikit banayk kau curi pandng,
sedikit banyak aku juga begitu.
Kita
seperti orang yang baru bertemu tadi pagi saja. Ingin kembali saling mengenal,
namun saling malu, saling angkuh. Mataku tepat dimatamu. Kita saling berbicara
saling tersenyum. Meski hanya beberapa menit saja, cukup rasanya mengobati
rindu ku pada suara mu, pada tawa mu, pada asap rokok mu. Aku benar-benar
merindukan mu. Semuanya, kau merindukanmu. Lalu kita kembali ke peran kita masing-masing.
Kita kembali menjadi orang asing. Ya sudahlah, kalau memang ini skenarionya,
aku bisa apa ? Aku hanya bisa menjalani peran ini sebaik-baiknya. Aku merindukan
mu, aku merindukan semuanya. Apakah telpon mu 6 hari yang lalu adalah telpon
terakhir ? Sampai kapan aku menghitung waktu untuk menunggu telpon berdering ?
Pekanabaru,
16 Juni 2015
19. SEMBILAN BELAS
Sakit
memang ketika kita mencoba untuk tidak peduli, untuk mencoba menutup mata,
telinga, dan hati atas apa yang dilakukan orang yang kita sayang. Air maat
seakan-akan dibuka kran-nya. Ia mengalir mengikuti aliran hati yang semakin
lama makin sempit, makin sesak, dan makin sakit. Pun pada akhirnya, aku tidak
tahu kedepannya. Meski logika berkata “BERHENTI SAJA” tapi hati menolak
mentah-mentah. Meski terkadang hati mulai mengikuti logika, tapi ia tetap saja
kembali ke titik awal. Ia kembali MENUNGGU sampai semuanya baik-baik saja.
Entah itu KAPAN ? Dan butuh berapa lama ? Menguji hati ternyata tidak segampang
bicara.
Payakumbuh,
25 Juni 2015
20. DUA PULUH
SIAPA PENJAHATNYA
Bahkan kalau kau suruh
aku untuk bernapas kali ini aku tak sanggup.
Aku seolah olah menjadi
tersangkanya.
Dihakimi berjuta pasang
mata.
Masih kau suruh kah aku untuk menghirup
udara yang aku rasa ini menjijikkan.
Ingin ku putar iming
iming murahan mu.
Panah tajam menghujam.
Tikam dalam dalam.
Kau memang pembohong besar.
Bajingan Tua.
Tapi aku cinta jua, karna inilah aku
digerayangi dusta-dusta.
Aku
terlalu percaya dan ini akhirnya.
Aku
tersangka utamanya.
Dihakimi
sejuta pasang mata.
Malu
?
Tak
usah kau tanya lagi.
Aku
lebih baik telanjang tanpa sehelai benang.
Dan
kau masih sanggup melihat serta menghakimi ku sayang ?
Kau
benar benar sempurna
Payakumbuh,
28 Juni 2015
21. DUA PULUH SATU
LARI
Lebih baik aku lari.
Bersembunyi dibalik sajak sajak abadi.
Lebih baik aku tenggelam dalam puisi malam.
Lebih baik aku bermandikan air mata dalam
prosa ganja.
Ini tanahku, ini hak ku.
Aku bebas menjadi menir.
Mungkin aku pengecut keparat yang melarat.
Terjebak dalam pusaran rumit nya hidup.
Hidup kau bilang ?
Sekali - kali tidak.
Ini bukan hidup, ini bukan hidup.
Tak ada pengecut dalam kisah ini.
Kisah ini kisah dewa-dewa.
Bukan kisah murahan para durjana.
Dan kau bilang kau hidup ?
Persetan
Astaga, ternyata aku mati muda.
Mati tercucuk luka, tertikam dusta.
Aku sudah mati ?
Lalu kau sebut apakah sayang mu itu tadi
pagi ?
Omong kosong kah ?
Persetan
Payakumbuh,
28 Juni 2015
22. DUA PULUH DUA
PADA AKHIRNYA
Enak sekali, namamu abadi dalam sajak sajak
fana.
Dipuja disebut berkali kali.
Aku punya hati entah milik siapa.
Pun pada akhirnya.
Aku dan kau tidak tau akhir kisah ini.
Mungkin aku pergi, kawin, dan beranak.
Dengan org lain, dengan lelaki lain.
Atau mungkin aku berkelana.
Serupa Ahasveros.
Agar tak kembali pada hatimu yang entah milik siapa.
Begitu juga kau.
Bermain main dengan hati yang lain.
Sampai akhirnya kau temukan.
Dan aku berharap.
Bukan dengan sundal di ujung gang jalan.
Ah, udara makin pengap.
Sesak napas aku, jadi gagap gagap.
Kepada engkau, sayang ku sayang.
Sampai kapan kisah ini bertualang.
Pun mungkin pada akhirnya.
Kita merajut cinta sama sama.
Serupa Rama dengan Sinta.
Serupa Hitler dengan Eva.
Lalu kita bahagia.
Payakumbuh, 28 Juni
2015
23. DUA PULUH TIGA
Tuhan
memang selalu benar dengan firman-Nya. Tuhan mengajarkan agar hamba-Nya tidak
berlebih-lebihan. Dan benar saja, berlebih-lebihan mendatangkan mudarat. Aku
diperdaya dan berlarut larut dalam sapuan kesedihan akibat kehilangan dua
makhluk yang aku sayangi secara berlebih-lebihan. Sakit yang ditimbulkan
berlebih-lebihan, kesedihan yang ditimbulkan berlebih-lebihan, serta pedih yang
ditimbulkan juga berlebih-lebihan. Kenangan akan dua makhluk itu pun juga
muncul secara berlebih-lebihan. Akibatnya, ya kau
tau sendiri kadar sakit, sedih, dan perih juga meningkat secara berlebih-lebihan.
Untuk
dua makhluk yang aku sayangi secara berlebih-lebihan. Kepada makhluk 1, pulang
lah sayang. Tak rindukah engkau kepada ku ? Tak ingat kah kau waktu yg telah
kita lalui bersama ? Hitungan tahun bukan waktu yang sebentar, aku terlanjur
menyayangi mu secara berlebih-lebihan.
Untuk makhluk 2, aku tidak meminta mu pulang,
sejatinya kita memang tidak mempunyai rumah. Aku juga tidak meminta mu untuk
merindu, mengingat waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya meminta mu untuk
KEMBALI. Meski hitungan tahun belum kita lewati, tapi periode ini cukup membuat
ku menyayangi mu secara berlebih-lebihan. Dan sakitnya kehilangan mu berlipat
ganda secara berlebihan.
Untuk dua makhluk yang aku sayangi secara berlebih-lebihan. Aku tak bisa berhenti menyayangi kalian secara berlebih-lebihan, pun ku tau sakitnya kehilangan kalian juga akan berlebih-lebihan. Tapi jika kalian sempat, jenguk lah hati yang tengah sekarat secara berlebih-lebihan.
Untuk dua makhluk yang aku sayangi secara berlebih-lebihan. Aku tak bisa berhenti menyayangi kalian secara berlebih-lebihan, pun ku tau sakitnya kehilangan kalian juga akan berlebih-lebihan. Tapi jika kalian sempat, jenguk lah hati yang tengah sekarat secara berlebih-lebihan.
Payakumbuh,
29 Juni 2015
24. DUA PULUH EMPAT
Antara
bahagia dan sesak juga sebenarnya. Kita sudah mulai menata serpihan yang kita
pecahkan beberapa minggu lalu. Kita sudah mulai berangsur-angsur meninggalkan
peran orang asing dan kita mulai menjadi diri kita sendiri, meskipun belum
seutuhnya. Aku menjadi seutuhnya, dan kau menjadi tiga per empat nya dari diri
mu. Seperempatnya lagi masih malu-malu. Tapi tidak apa-apa, meskipun begitu aku
tetap mencintaimu dan menyayangi mu sepenuhnya. Aku hanya mampu menyayangi mu
meski sekarang aku hanya diam. Ya, aku menyayangi mu.
Payakumbuh, 11 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Left a comment if you want ^^