Jumat, 15 Juli 2016

NISKALA

Hujan sedang lebat sekali diluar dan awet. Persis serupa hujan diawal tahun. Yang membedakan tentu waktu serta perasaan yang dibawanya saat ini. Baiklah, mungkin aku tak akan mengulang-ulang kisah tentang hujan diawal tahun kemaren. Sudah terlampau basi dan pasti akan sangat membosankan bila diulang-ulang melulu. Hari ini, Jumat. Bagi pemeluk agama Islam, hari ini adalah hari yang istimewa dan penuh berkah. Apalagi dengan adanya hujan sejak tadi malam yang mengguyur Payakumbuh, Jumat ini tentu makin berkah saja. Awalnya rintik turun malu-malu kemudian lebat dan sampai detik ini hujan masih konstan dengan kuantitas yang sedang-sedang saja. Tidak lebat, tidak pula gerimis.
Sangat nikmat bila pagi Jumat ini dihabiskan dengan bermalas-malasan di tempat tidur. Berbaring dengan dekapan selimut kemudian melanjutkan mimpi yang belum rampung tadi malam. Namun, alangkah lebih nikmat lagi bila diisi dengan aktivitas yang menyenangkan yang sesuai dengan selera masing-masing kepala kita. Bukankah yang lebih nikmat dari hidup adalah menikmati kehidupan itu sendiri ? Pagi ini aku memilih menghabiskan pagi Jumat yang tidak cerah ini dengan membaca. Selepas membersihkan rumah, aku memilih membuat martabak mie dan segelas teh panas sebagai teman bagi kegiatan membacaku pagi ini

.
NISKALA. Sebuah novel karya Daniel Mahendra yang sudah aku baca sejak kemaren. Dan aku memilih menuntaskan membacanya pagi ini sebab cerita yang disuguhkan cukup menarik dan mengingatkanku pada seseorang dalam kisah lama dan seseorang yang lain. Sebenarnya novel ini sudah aku beli sejak tahun lalu, namun baru kusentuh kemaren dan menyelesaikan bacaanku beberapa puluh menit yang lalu. Sambil menikmati sarapan ternyata ada hal-hal yang sangat menarik dari novel ini.  Sungguh, saat pertama kali membaca, aku kira ini adalah novel yang membosankan dengan kisah roman yang begitu-begitu saja. Penggunaan majas yang agak sedikit hiperbola dan pemilihan beberapa diksi yang cenderung lebih banyak muncul dalam keseluruhan kisah novel ini, adalah beberapa hal yang membuat aku berpikir novel ini akan membosankan. Ternyata dugaanku tidak benar. Daniel Mahendra menyajikan alur dan cerita yang luar biasa. Ia mampu mengemas dengan rapi dan menceritakan setiap kisah dengan tidak terburu-buru. Ia mampu mencari waktu yang tepat dalam menyuguhkan potongan-potongan kisah kepada pembaca. Terlebih lagi, Daniel Mahendra juga mengenalkan kosa kata sansekerta dan pengetahuan-pengetahuan baru. Seperti judul novel dan judul bab-bab dalam novel ini yang keseluruhan menggunakan bahasa sansekerta.
Niskala merupakan kosa kata dalam bahasa Indonesia sekaligus bahasa sansekerta yang berarti tidak berwujud; tidak berbeda; mujarad; abstrak (Bahasa Indonesia) dan berarti tidak ada halangan; selamat (Sansekerta). Kemudian judul-judul bab dalam novel ini : Pawana (angin), Sanggita (penjiwaan), Arcapada (dunia, jagat semesta), Ragana (kasmaran, jatuh cinta), Rencaka (susah, sedih), Kamawedha (ajaran tentang percintaan), Kawadaka (diketahui rahasianya), Prasapa (amanat, pesan, ajaran), Arkamaya (sinar,cahaya,praba), Wiwandha (halangan, rintangan, kendala, masalah), Pranama (purnama), Wisapaha (penawar bisa), Nirwikara (tak berubah, tabah, berani), Bisuwa (sesaji), Nilawarsa (hujan bercampur angin), Wresthipatha (hujan lebat), Wilapa (syair sedih, syair keluhan), Duhkitawara (kata-kata atau syair tentang duka cita), dan Wasana (akhir, penutup, penghabisan), memberikan kekayaan lebih pada wawasan pembaca. Lalu lewat novel ini aku pun mengenal pengetahuan tentang keyakiann dan hubungan dengan Tuhan. Seperti agnostik, yaitu paham dimana seseorang yang beranggapan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Berbeda dengan atheis, agnostik mempercayai keberadaan Tuhan namun tidak melalukan ibadah atau ritual agama tertentu. Penganut paham agnostik,  tetap berdoa dan bersyukur dengan caranya sendiri serta menjalani hidup sebaik-baiknya. Aku baru tahu ternyata paham seperti ini dinamakan agnostik. Kemudian, aku juga baru tahu ternyata ada beberapa orang yang meyakini Islam Sahitya. Apa lagi ini ? Tentang Islam Sahitya aku pun belum membaca literatur tentang hal ini sehingga aku belum mampu menuliskannya. Juga ada penganut keyakinan Islam Wettu Tellu yang merupakan sinkretisme Hindu-Islam. Keterangan nya masih sangat sedikit sekali namun aku sunnguh ingin tahu tentang kedua keyakinan ini. Well, ternyata Indonesia memang sekaya-kayanya dalam hal apapun termasuk agama. Daniel secara tidak langsung juga ingin membangunkan serta mengajak batin kita berkomunikasi perihal keyakinan kita terhadap sang Maha segala.
Selain pengetahuan tentang keyakinan, pengetahuan popular seperti wisata Indonesia dan dunia juga coba dikenalkan Daniel lewat novel  ini. Daniel mengulas alam Indonesia  dan dunia lengkap dengan data-data konkret seperti luas, tinggi, sejarah dan akses menuju tempat tersebut dengan bahasa yang ringan dan tidak membosankan. Seperti saat ia mengulas tentang Tibet, Machu Pichu, Gunung Rinjani dan kawan-kawannya, Kawah Putih dan wisata ala Bandung, dan tempat-tempat menakjubkan lainnya. Daniel seolah ingin menyadarkan pembaca bahwa Indonesia itu indah sekali bahkan menakjubkan. Tuhan menitipkan surga pada kita. Keindahan langka yang tidak akan kita dapatkan dimanapun di belahan bumi lain selain Indonesia. Secara tersirat, bagi diriku pribadi filsafat dan hubungan kepada Tuhan ingin segera kuperdalam setelah membaca novel ini.  Kisah dalam Niskala luar biasa dan komplit dengan porsi yang pas pada setiap elemen yang disuguhkan. Cinta, keyakinan, perjalanan, keteguhan hati, dan pengetahuan diramu dalam komposisi yang pas dan tidak berlebihan. Ini novel yang baik.
Terlepas dari semua itu, seperti yang aku utarakan diawal ada cerita lain yang dibawa hujan bersama kisah dalam novel ini. Sebuah kisah tentang dua orang. Seseorang yang ada dalam kisah lama dan seseorang lain yang belum mampu untuk terdefinisikan. Klise memang, mengingat seseorang kala hujan dan selepas membaca roman dalam novel. Namun, terlepas dari itu ada satu hal yang aku sadari. Cerita dalam kisah ini seperti menarikku untuk kembali refleksi diri, meniadakan keegoisan, mawas diri, dan menyuruhku untuk berpikir ulang tentang perasaan dan kasih sayang serta cinta. Konsekuensi atas pengutaraan perasaan kepada seseorang, tanggung jawab tentang tindakan yang sudah dilakuakn, komitmen, dan hubungan. Semua hal tersebut menuntutku untuk berpikir ulang dan refleksi dengan tindakan yang sudah dilakukan. Pendewasaan memnag butuh proses bukan ? Terlebih lagi ketika umur akan menjemput angka 19, ada beberapa hal yang harus dimatangkan lebih. Aku kira itu adalah pematangan pikiran dan perasaan.
Sebelum itu, ada yang ingin aku ceritakan. Aku jatuh cinta pada umur 17 dan mengutarakan perasaanku tanpa berpikir panjang saat akan menginjak umur 18. Labil pasti, juga teman mengatakan bahwa ini cuma perasaan sesaat yang nanti bakal menguap. Paska pengutaraan dan  sepanjang perjalanan di  usia 18 banyak sekali cerita yang terjadi. Apalagi perihal perasaan yang sudah dinyatakan, secara tidak langsung mutlak bukan urusan masing-masing lagi. Ini saling berkaitan antara si pengutara dengan orang yang diutarakan. Sepanjang cerita-cerita itu muncul banyak sekali kelabilan, keegoisan dan prasangka-pransangka yang kadang bermuara pada ketidaknyamanan yang diciptakan khas orang-orang yang belum dewasa. Terlebih saat perkara terakhir yang terjadi akhir Mei lalu.
Well, ada pendewasaan diri yang terjadi sepanjang tahun lalu dan tahun ini. Diakhir usia 18 menuju 19 ini ada satu kesadaran yang muncul, ada mawas diri yang harus lebih sering dilakukan. Kalimat “Kita bertengkar, bukan berpisah” dalam novel, yang setidaknya membuat ada hal yang aku sadari. Meski aku berkoar seolah-olah kita berpisah, padahal sebenarnya ini tidak jelas sama sekali dan belumbisa disimpulkan. Dan pendewasaan diri memang harus ditingkatkan. Dan lagi, ada satu pesan yang langsung aku kirimkan kepada teman  selepas membaca kalimat itu :
“Bung, saya menyadari satu hal. Saya memang mencintai dia. Tapi bukan serta merta kami harus menjalani keseharian seperti sepasang kekasih bukan ? Tak melulu harus bertukar kabar. Dia cerita yang hidup dalam sajak dan puisi saya. Secara tidak lanngsung dia adalah alasan saya. Saya pasti akan berhenti kesetanan untuk menuntut dia berprilaku seperti kekasih saya sesungguhnya. Tapi saya tidak akan berhenti mencintai dia. Seperti telaga kepunyaan anda yang selalu melepas dahaga dan memberi kesejukan yang teduh bagi hari-hari anda. Serupa itu pula dia bagi saya. Dia memberi cerita lain dan kisah yang baru dalam hidup saya. Dan Bung, ternyata mencintai seseorang memang punya kebahagiaan tersendiri dan tidak bercampur dengan kebahgiaan lainnya”
Cinta dan kasih sayang itu sakral. Tidak ada pemaksaan tidak ada keterpaksaan. Cinta itu adalah kebahagiaan tersendiri. Itu yang aku sadari hari ini. Meski hanya berupa penjabaran dalam tiga kalimat, sesungguh ada makna yang lebih dalam dibaliknya. Hidup memang butuh pendewasaan. Pada kisah yang satu lagi, saya tak ingin banyak berkomentar sebab saya belum mampu memberi definisi yang pasti. Namun kalimat yang membuat saya ingat kepada orang ini adalah “ Peminum kopi itu pemikir. Sementara peminum teh itu romantis”. Kemudian cerita dalam novel tentang ekspedisi, perjalanan, pendakian gunung, buku-buku dan penulis membuatku teringat saja kepada seseorang pecandu rokok dan kopi, serta yang membuatku tadi malam tanpa berpikir menghubunginya. Sekali lagi, aku cuma teringat saja.Terakhir, terimaksih pada roman NISKALA dan pemikiran yang timbul sesudahnya. Ini menyenangkan dan mendewasakan

Sabtu, 09 Juli 2016

PEREMPUAN DAN PASAR




              Setelah bekerja sepuluh hari menjelang lebaran, ada beberapa hal yang ingin saya tuliskan. Sepuluh hari mungkin waktu yang sebentar dalam mengobservasi suatu kejadian tapi mari kita coba tuliskan apa yang sudah  saya coba amati. Pasar. Adalah tempat berkumpulnya semua golongan dan kalangan dalam memenuhi kebutuhan. Maklum, Payakumbuh masih kota kecil jadi kami belum punya pusat perbelanjaaan modern seperti mall. Ada plaza, hanya saja sebagai masyarakat yang belum terlalu suka bergaya modern dalam berbelanja, pasar adalah satu-satunya sentral dalam transaksi jual beli segala kebutuhan. Pasar Payakumbuh sudah ada sejak tahun 1920-an, terdiri dari dua blok. Blok Barat dan Blok Timur. Kebetulan saya saat itu menjadi karyawan disalah satu toko jilbab di Blok Barat. Blok Barat cenderung menjual pakaian, jilbab, aksesoris, tas, buku, dan kelontong. Blok Barat banyak mengalami perubahan. Sedangkan di blok timur yang bersebelahan dengan terminal belum terlalu banyak berubah, masih dan bentuknya hampir sama saat pertama kali saya  ke pasar. Masih dengan deretan toko mas, toko kue, dan toko harian, toko tikar, dan toko buku tua langganan saya.Dan juga toko baju meski tidak sebanyak dan selengkap di blok barat. Selama sepuluh hari banyak sekali kejadian dan pelajaran yang mampu memberi makna lebih dalam kehidupan. Arti kata berjuang,keluarga, kebersamaan, tolong menolong, usaha, jual beli, tenggang rasa, lelah, uang, mengahargai, dll. Terlampau banyak pengajaran dari Tuhan dari kejadian-kejadian di pasar.
              Saya akui mencari uang itu sulit sangat sulit dan pahit. Meski dua tahun sebelumnya saya juga sudah mulai bekerja, namun saya kira tahun ini saya mendapat arti lebih tentang uang. Uang atau upah yang saya terima tidak sebatas angaka-angka. Ada beberapa perasaan yang ikut disana, perasaan senang dan bahagia dengan teman kerja, hubungan dengan induk semang, keceriaan dengan tetangga kios, dan kesan dengan beragam pembeli. Upah yang besar tidak menjamin kebahagiaaan kerja. Justru saya kira kenyamanan dan kebahagiaan saat bekerja jauh lebih berharga dibanding segalanya. Kelakar, canda, tawa disela kesibuakan jual beli adalah bonus yang tak ternilai disamping upah yang saya terima. Tidak besar memang. Rp 30.000/hari dan saya bekerja kurang lebih 10 jam. Dimulai dari membuka kios jilbab, melayani pembeli, meyusun barang, belanja kebutuhan kios sampai menutup kios dan buka lagi keesokan harinya. Terlebih empat hari menjelang lebaran. Saya harus lembur sapai jam 9 atau jam 10 malam, dan di malam takbiran saya mesti berjualan sampai setengah dua belas malam. Dan saat saya menerima upah pada malam takbiran, saya bahagia sekali. Rp. 400.000,- selama sepuluh hari dan ditambah bonus Rp 100.000,-. Tuhan, ini menyenangkan. Kata Ibu uang itu buat saya saja. Tapi sebagai wujud sayang yang tidak seberapa, saya belikan ibu sebuah bros untuk lebaran. Warna perak dengan motif dedaunan dengan permata. Sisanya akan saya gunakan untuk les bahasa Jepang.
            Kembali ke pasar. Setelah saya sedikit paham tentang upah dan uang, saya kira saya ingin menuliskan tentang perempuan dan pasar. Hampir 85% tenaga kerja di pasar adalah perempuan. Mulai dari karyawan, boss, pembeli sampai penjaga wc mayoritas adalah perempuan. Selama seharian penuh saya di pasar, saya hanya sesekali menjumpai lelaki. Saya tidak tahu mengapa, mungkin salah satu penyebabnya adalah jumlah kaum kami yang memang 4 kali lipat lebih banyak ketimbang kaum lelaki. Perempuan dan pasar. Bukan kehidupan yang lembut, bukan kondisi yang menyenangkan. Selama hampir seharian penuh perempuan-perempuan ini harus harus berbelanja kebutuhan kios ke Bukitttinggi, berdesak-desakan, berangkat dari Shubuh dan dilanjutkan melayani pembeli. Ada juga yang sepanjang hari harus duduk di mesin jahit. Menjahit kain pesananan pelanggan. Ada juga yang harus membeli kebutuhan rumah. Membeli baju, pakaian dalam, sepatu anak, buku, lauk pauk, dan segala hal yang diperlukan. Ada juga yang harus menjaga wc. Ada yang harus mengumpulkan karton bekas dan sampah-sampah untuk diganti menjadi lembar rupiah. Ada pula yang meminta-minta. Dan semua hal yang saya sebutkan tadi dilakuakn oleh perempuan-perempuan yang berhasil saya amati selama di pasar. Disamping hal-hal tadi, perempuan-perempuan ini juga harus menjaga rumah. Beruntung bagi yang muda-muda. Yang belum punya anak dan suami, seperti saya salah satunya. Tentu, selepas dari pasar bisa langsung pulang dan mandi serta berbuka puasa dengan lahap dan beristirahat. Sedang bagi perempuan yang punya keluarga, harus memikirkan lauk untuk berbuka, anak, suami, dan segala hal.
              Lelah bekerja pasti. Contoh nya saja ibu saya.Tapi Ibu saya sebagai buruh kue bawang yang harus berangkat selepas Shubuh dengan mengayuh sepeda, kemudian mulai membuat kue. Dari menipiskan adonan, mencetak sampai menggoreng, berdiang api, berpanas-panas saat hari sudah mulai tinggi. Belum lagi kesibukan di rumah yang harus diselesaikan menjelang berangkat kerja. Mempersiapkan makan sahur, menyuci pakaian, dan mencuci piring, Ibu bilang, saya cukup membantu menjemur dan membersihkan halaman, menyapu rumah, dan member makan ayam dan itik sebelum berangkat kerja. Kata ibu, biar saya tidak kedinginan. Ibu, saya memang belum tangguh sama sekali. Kemudian, contoh lain yang membuat saya terdiam adalah saat iboss saya bercerita bahwa anak nya tadi malam berulah dan dimarahi ayahnya, saat itu anak nya menangis dan berkata : “Ma, ambil libur lah lagi”.
           Well, perempuan memang harus kuat-kuat terlebih dalam perasaan. Siapa yang tak terdiam dan hening mendengar anak berucap seperti itu. Saya hanya tersenyum. Dalam hari saya membatin “Menjadi perempuan itu sulit dan tidak mudah. Ada kehidupan yang lain yang bergantung pada kita apalagi setelah berkeluarga.  Tapi menjadi perempuan itu juga nikmat yang paling indah. Sebab pada perempuan lah kemuliaan dilimpahkan.” Perempuan memang survivor sejati. Tidak memiliki kekuatan seperti lelaki, tidak terlampau kuat, tapi beban dan tanggung jawab diambil begitu besar. Mengurus anak, mengurus suami, mengurus rumah, mepertimbangkan segala hal agar berjalan lancar, terlebih di abad 21 saat emansipasi sudah lama berlaku, peran wanita dalam kehidupan bertambah. Tak jarang perempuan merangkap menjadi tulang punggung sekaligus tulang rusuk. Menopang kehidupan sekaligus melindungi. Saya kira Tuhan benar-benar menciptkan perempuan itu istimewa sekali. Dengan fisik yang tidak terlalu kuat, tenaga yang tidak terlampau memadai, Tuhan menciptakan perempuan dengan kekuatan perasaan yang lebih. Perasaan sayang dan cinta pada keluarga, perasaan yang kuat untuk penghidupan yang lebih layak, perasaan yang kuat untuk bertahan, menjadikan keterbatasan pada kekuatan fisik bisa ditangguhkan. Perempuan memang kuat dalam perasaan. Air mata yang kadang tumpah saya kira malah menambah kekuatannya.Bukan berarti tulisan ini saya mengatakan bahwa perempuan lebih daripada lelaki. Tentu tidak, perempuan masih dan sangat membutuhkan lelaki. Hanya saja saya ingin mengatakan bahwa ternyata perempuan memiliki kekuatan yang lebih yaitu perasaan.

APA KABAR YANG MENYAKITKAN SAYA KIRA



          Semenjak beberapa hari bekerja, saya menjadi jarang menulis. Bukan tidak mau tapi sering tidak sempat. Bahkan pernah saya mencoba mencuri waktu saat bekerja untuk menulis puisi. Sebenarnya malam ini saya ingin menuliskan perenungan selama saya bekerja empat hari belakangan. Namun selepas menerima telpon beberapa jam yang lalu dari kawan baik saya, saya kira ada hal lain yang perlu saya tuliskan terlebih dahulu. Ini perihal keterkejutan dan hal yang tidak saya sangka. Ternyata orang itu masih peduli (saya kira), sama seperti saya yang sebenarnya juga masih peduli. Sangat peduli malahan namun saya berusaha keras menepisnya. Sebab saya kira, kurang pantas saja saya harus terus-terusan peduli dengan orang itu. Saya butuh berhenti dan beristirahat sejenak. Ini sungguh diluar dugaan. Sejujurnya tidak pernah sedikit pun saya berpikiran orang itu akan menanyakan kabar saya. Sungguh saya tidak menyangka sama sekali. Baikalah, mungkin akan saya jelaskan sedikit mengapa saya begitu terkejut sekali.
           Tidak dapat saya pungkiri bahwa di dunia ini jarang sekali ada orang-orang yang sangat sepaham dengan kita. Pasti setidaknya akan ada sedikit perbedaan pendapat meskipun tujuan yang ingin dicapai adalah sama. Terlebih lagi, jika kita datang dari dua arah yang berbeda dan saling berjauhan dengan latar belakang yang berbeda pula. Lahir, tumbuh dan dewasa di lingkungan yang berbeda dan bergaul dengan orang-orang yang sangat berbeda pula. Kita tumbuh menjadi manusia dengan konsep pemikiran dasar yang berbeda. Kita baru bertemu 2 tahun lebih sedikit. Tentu waktu yang sebentar tersebut tidak dapat merubah asal kita sebenarnya, apalagi tentang sesuatu kita sudah mendaging dan kita yakini sejak kita masih setinggi bunga pagar. Waktu dua tahun, terhitung dari saat pertama kali kita berkenalan sampai sekarang, terlalu sebentar untuk merubah siapa kita sebenarnya.  Kita memang berbeda sejak awal. Meskipun banyak sekali perbedaan, setidaknya ada beberapa hal yang saya senangi dahulu, walau  jika saya mengingat nya sekarang, saya menjadi kesal sendiri. Terlepas dari hal yang saya sebutkan diawal, kita juga berbeda dalam segala hal. Kita menyenangi hal-hal yang berbeda pula. Seperti saya yang amat mencintai sastra dan puisi sedangkan Anda tidak menyukainya. Seperti anda yang menyukai bola, sedangkan saya untuk mengetahuinya saja tidak apalagi untuk menyukai. Lalu, saya membenci asap rokok, sedangkan anda malah hampir tiapa hari memproduksi asap rokok. Kemudian juga masalah musik. Cenderung saya tidak menikmati lagu-lagu yang anda senangi, begitu pula anda.
          Beberapa contoh kecil yang saya kira cukup menggambarkan bahwa kita memang berbeda. Perbedaan yang mengantar kita pada akhir yang tidak jelas yang kita ciptakan beberapa waktu silam, tepat diakhir Mei. Lagi-lagi Mei. Bulan dimana hampir semua peristiwa tentang kita terjadi bulan ini. Perbedaan yang menciptakan susana yang makin ambigu dan susah sekali untuk dijelaskan. Meskipun sudah kita coba untuk mengakhirinya, tapi saya kira akhir cerita ini belum jelas sama sekali. Sebuah akhir yang dipaksakan tanpa penjelasan. Sebuah akhir yang sama sekali tidak saya harapkan. Sebenarnya yang saya inginkan adalah jika kisah ini memang benar-benar berakhir, berilah saya akhir yang jelas dan bisa saya pahami. Akhir yang tidak lagi membuat saya bertanya-tanya. Akhir yang tidak nisbi. Bukan akhir cerita yang mengambang seperti sekarang. Namun, saya juga tidak punya kuasa atas segala hal yang terjadi. Kisah ini bukan kisah saya sendiri. Kisah ini kisah bersama. Anda, saya, dan pihak-pihak yang terlibat. Meskipun tokoh sentralnya adalah saya dan anda, namun ending cerita bukan kuasa kita sepenuhnya.
             Setelah penetapan akhir yang tidak sesuai harapan, saya mulai dikunjungi kekecewaan dan memori-memori usang tiap kali ada kesempatan. Hampir tiap hari bahkan tiap jam. Kunjungan yang selalu membuat saya merasa kesal, sedih, dan perasaan campur aduk lainya. Kunjungan yang membuat saya tiap kali menerimanya, membuat saya harus menikam perasaan saya berkali-kali agar cepat mati. Kunjungan yang  membuat sayat harus mengoyak harapan yang saya tuliskan dalam beribu-ribu huruf yang terangakai menjadi kalimat pada larik dalam bait sajak dan puisi. Kunjungan yang membuat saya menjadi terdiam seketika saat saya menerimanya. Kunjungan ini sungguh menyakitkan. Kunjungan yang harus saya terima setiap ia ingin datang dengan sendirinya. Anda kira ini mudah ? Tidak sama sekali. Ini jauh lebih sulit dibanding saya harus memahami kitab Tumbuhan Tinggi dan Stuktur Perkembangan Hewan. Saya benci ? Ya. Saya sangat benci malahan. Tapi sungguh, di dalam hati saya saya masih mempedulikan anda, masih mengingat anda, meskipun saya selalu berusaha menepiskan dan membunuhnya perlahan. Saya tidak sanggup dan saya lelah. Terlebih dengan segala perbedaan yang ada, saya patah arang untuk berharap (lagi). Saya tidak bisa memaksakannya lagi. Ini sulit. Benar-benar sulit sekali.
            Dan kenapa anda masih menanyakan kabar saya ? Anda memang benar-benar membuat akhir cerita ini semakin berbelit dan tidak jelas. Tolonglah beri saya alasan dan penjelasan tentang pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Kapan pun itu saya tunggu, karna saya butuh jawaban agar saya tidak meradang dengan pesakitan yang berkepanjangan. 

Payakumbuh, 28 Juni 2016