Rabu, 15 Juli 2015

Putri, Sajak Cinta dan Patah Hati



Tulisan ini bukan berarti aku menyalahkan mu, bukan berarti aku berharap banyak pada mu, bukan berarti begitu. Tulisan ini lah yang berbicara apa yang aku rasakan, saat tidak ada yang mengerti bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya, bagaimana susahnya. Tulisan ini yang menguatkan saat lisan tak mampu lagi menggambarkan, saat air mata tak mampu lagi berkata-kata. Terimakasih kertas, terimakasih pena. Aku menyayangi mu !


1.      SATU
Ma, dalam gelap malam ditemani suara binatang yang aku tak tau namanya, aku kembali merenung. Kali ini bukan soal hidup tapi soal CINTA. Terlalu cepatkah aku untuk berbicara masalah ini Ma ? Aku tahu, aku tak bisa menyimpulkan perasaan ini adalah cinta, jangankan cinta sayang pun belum tentu. Tapi sejak beberapa hari lalu, wajah lelaki itu terus muncul Ma. Tak kenal tempat, tak kenal waktu. Aku pun terkadang merasa bingung, kenapa wajah lelaki itu yang kini hobi sekali muncul disela waktu ku ? Tak mengganggu memang. Disebut apakah ini Ma ? Hatiku tak sedikit pun bergetar saat bersamanya, akan tetapi aku begitu senang melihatnya, senang berbicara dengannya, bahkan diam-diam aku mengharapkan telponnya. Aku selalu ingin bersamanya, apakah ini namanya suka atau hanya terpesona ?Hatiku tak ada getarannya, jantungku tetap konstan, tak kejar-kejaran degupnya. Tapi entah kenapa aku selalu ingin bersamanya Ma, saat menulis inipun aku sedang terbayang wajahnya. Wajah yang dulu aku pikir bengal, sekarang mendadak begitu menggemaskan. Wajahnya berbeda sekarang Ma. Aku pun tak habis pikir, mengapa hal bodoh ini bisa terjadi ? Apakah aku terlalu cepat atau aku yang terlalu tergesa-gesa menyimpulkannya Ma ? Wajah lelaki itu terus muncul.
Izinkan aku berkisah sejenak tentang lelaki itu. Lelaki yang saat pertama kali aku temui begitu aneh, tolol, bahkan tak beraturan. Ngomong asal ngelantur, seenak isi perutnya. Lelaki yang aku aku anggap biasa-biasa saja sampai suatu ketika aku mulai dekat dengan nya. Semua berjalan biasa-biasa saja sampai beberapa hari yang lalu. Saat wajahnya mulai tergambar jelas dalam ilusi khayalanku. Wajah yang selalu datang tanpa permisi, tanpa basa-basi. Wajah yang selalu berubah ekspresinya saat datang. Kadang riang, datar, bahkan kadang marah. Ma, dia lelaki yang ajaib bahkan aku pun tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Lelaki yang suka bercanda, lelaki yang tak lepas dari rokoknya, lelaki yang aku kira menjalani hidup ini begitu ringan, begitu lepas. Lelaki yang begitu santai, begitu bebas tapi denagn perencanaan matang.Dan juga lelaki itu menghormtai ibunya,. Lelaki yang aku sendiri pun suka sok tahu, sok kenal, dan sok paham betul dengan dirinya.
Ma, sudah pantaskah aku untuk mencinta ? Sudah bolehkah hati ini terjatuh lagi untuk kesekian kalinya ? Sudah bolehkah hasrat dan keinginan memiliki itu ada ? Tapi, satu pertanyaan yang lebih penting dari apapun yang ingin aku tanyakan. Pertanyaan yang penting sekaligus menakutkan. “MA, SUDAH SIAPKAH AKU UNTUK PATAH HATI JIKALAU RASA INI TUMBUH SENDIRI ?”
Pekanbaru, 17 Februari 2015 (22.59)
2.      DUA
Teruntuk lelaki yang aku kagumi saat ini. Terimakasih telah ada di sela hidupku, di sela waktuku. Kalu boleh jujur,wajahmu senantiasa terbayang, setiap waktu, hampir setiap jalan waktu detik demi detik. Sudah lewat 40.000 menit wajahmu senantiasa menggantung dalam angan ku, dalam diiam, dalam renungan ku. Kau tau tidak ? Sebenarnya aku merasa benci, merasa kesal, merasa marah. Kenapa harus kau ? Kenapa bukan orang lain yang mungkin asing dalam hidupku ?Kenapa harus kau ? Orang yang selalu muncul, selalu bertemu, selalu nampak muka, selalu bersapa atau sekedar menatap. Kenapa harus engkau ? Aku tak pernah membayangkan kenapa bisa kau yang menjadi lelaki yang kau kagumi untuk saat ini ?
Pekanbaru, 16 Maret 2015

3.      TIGA

Kalau boleh ku kirimkan salam
Ku titip sepucuk pesan cinta
Ku sematkan  rindu pada bintang yang sedang menggantung
Oh, rembulan
Berbisik genit pada awan saat ini

Sedikit malu-malu
Ku sibak lembar baru, halaman baru
Seulas senyum, simpul, sederhana
Menggantung terlukis pada rupa

Sialan, rasa ini semakin gila menjadi
Menyerang bertubi-tubi, hantam sana, sikut sini
Bekas luka yang baru selesai terjahit kebal sudah
Tak robek apalagi terbuka

Lagi-lagi bulan tertawa
Mencibir, mengolok-olok
Ingin ku balas
Tapi logika menolak
Apa yang bulan cemoohkan itu nyata
Pekanbaru, 16 Maret 2015

4.      EMPAT

LAGI
Tuhan, pecundang ini jatuh cinta
Tidak, tidak, tidak
Pecundang ini sedang mencoba jatuh cinta
Lagi
Sedang mencoba menata hati
Lagi
Sedang mencoba menyusun keping
Kembali

Dibawah lautan bintang
Dibawah ejekan bulan
Dalam hening malam
Lewat ode ini ingin ku sampaikan
Tuhan, aku mulai jatuh cinta
Pekanbaru, 16 Maret 2015 (23.54)

5.      LIMA
Astaga. Apakah hati ini tak lelah untuk khawatir ? Ya aku khawatir sampai aku tak bisa lagi berpikir. Apakah ia juga khawatir ? Entahlah, yang jelas simponi malam ini cukup tepiskan rasa itu meski sedikit. Aih, lagi-lagi aku khawatir. Hai bulan tolong sampaikan padanya aku khawatir dan aku butuh penawar. Aku butuh kabar.

Pekanbaru, 29 Maret 2015

6.      ENAM
Entahlah, sepertinya bunga-bunga di hatinya mulai layu. Mulai kuncup tak lagi mekar. Hatinya hari ini seakan mati rasa. Bukan tertikam duri, melainkan hanay mati rasa saja. Teruntuk lelaki yang ia kagumi. Mungkin lelah saja hatinya resah, khawatir, kecewa, bahkan terkadang dipermainkan. Mungkin hatinya mulai sadar akan realita dan kenyataan setelah beberapa bulan yang lalu ia terbuai ilusi semata. Ia mulai terbangun dari mimpi-mimpi konyolnya. Helaan napas panjang hentikan penantian sementara. Ode yang ia simpan, ode yang ia goreskan, dan ode yang ia sematkan teruntuk lelaki yang ia kagumi, HILANG.

Pekanbaru, 7 April 2015

7.      TUJUH
Aku sudah hampir meledak-ledak. Semburat umpatan, makian, atau apapun lah itu namanya sudah siap untuk ku muntahkan. Wajahmu, setiap inci dari wajahmu itu membuat hatiku tambah kesal saja. Sedikit kata yang kau keluarkan tadi siang cukup seketika menghancurkan, meluluhlantahkan. Rata, sama rata dengan titik terdalam permukaan bumi. Aih, aku terlampau terbawa suasana. Pun kata-kata yang ku ucapkan tadi terlampau hiperbola. Pergi sja ke neraka. Kesal setengah mati aku melihat muka mu. Aih, lagi-lagi aku menghela napas. Entah, aku pun tak tahu gunanya apa.

Pekanbaru, 9 April 2015

8.      DELAPAN
Ini terkhusus lagi untuk dirimu satu. Dirimu satu. Cukup satu dirimu dalam satu waktu. Terkadang entah kenapa kamu ini selalu yang datang, selalu muncul diantara cela senggang. Terkadang kau datang dengan sopan, bersahaja dan baik-baik saja. Tapi entah kenapa juga kau datang dengan mengesalkan , memuakan, bahkan terkadang hampir membuat urat leher ku putus. Hati ku hampir meledak-ledak. Kalau aku mau meminta, aku tak mau dirimu itu satu, dirimu yang satu adalah kamu. Aku tidak mau bahkan aku tidak sudi kalau itu kamu. Tapi apa hendak dikata, asa terlanjur. Birahi mulai mengambil peran. Aku tak tau kedepannya bagaimana, tetapi kita lihat saja. BERTAHAN atau MENGHILANG.

Pekanabaru, 11 April 2015

9.      SEMBILAN
Teruntuk hari. Hari ini meskipun tetap ku bawa nama Hari, kau tetap akan ku kutuk, tetap ku serapahi. Mengapa kau ada, pun pada akhirnya tak nyata. Terimakasih akan selalu ku ucapkan atas segala sesuatu yang telah tercurahkan. Terimakasih atas panas, hujan, atas gemuruh yang datang 24 jam sekali. Aku menyukainya, terutama hujan. Saat semua basah, saat bau basah tanah mulai menguap. Tercium indra. Dan setiap tetes hujan yang turun atas detik yang turut berperan, setiap detak jantung, setiap pacu aliran nadi, semoga senantiasa bersama nama-Nya. Disela sibuknya semesta, terselip rasa, terselip rindu.
Pekanbaru, 2015

10.  SEPULUH
Tak kasihan kah ?Tak iba kah ? Kau tahu kan bahwa menunggu itu tidak senikmat menikmati rembulan dengan sang pangeran dibuai similir angin malam minggu. Apakah aku harus sampai ke gorong-gorong, muncul, timbul, tenggelam, tersungkur, terjungkang untuk menunggu kabar mu ?
Pekanbaru, 2015

11.  SEBELAS

BUTUH BERAPA LAMA LAGI

Butuh berapa lama lagi ?
Apakah kau mau menunggu sampai daun gugur satu-persatu ?
Apakah kau mau menunggu sampai laut menguap hingga kering ?
Apakah kau menunggu selama itu ?

Butuh berapa lama lagi ?
Bila masa, bila waktu
Sama-sama sepakat laknat dirimu
Apakah kau mau diam setelah kau dipecundangi detik
Apakah kau sanggup berurai tangis lagi ?

Butuh berapa lama lagi ?
Kesal aku setengah mati
Menua menunggu, membusuk bersabar
Tukak semakin menjadi saja

Kapankah akan kau tutup mulut anjing-anjing itu ?
Yang ku tau, kau baru saja mengumpat-umpat
Tanpa berani keluar
Menghardik sambil melempar batu
Gonggongannya semakin kencang saja
Butuh berapa lama lagi ?
Pekanbaru, 26 Mei 2015

12.  DUA BELAS

UMPATAN SEMUT MERAH

Malu aku diludahi semut merah
Sambil berjalan lambat-lambat
Mereka mengumpat-umpat

“Persetan
Bajingan”

Umpatan-umpatan semut merah
Pecah sunyi di siang merekah
Lagi-lagi aku diumpat semut merah

“Pulang saja sana
Bebal kau pelihara
Pulang,pulang,pulang”

Diiring sepoi angin membelai manja
Umpatan-umpatan semut merah
Mereka mengumpat, sambil berbaris rapat-rapat
Ciut juga nyali ku karena semut merah
Satu kali, dua kali
Untuk ketiga kali, semut merah tak lagi mengumpat

“Bukan kah telah ku ingatkan sayang ?
Antara semu dan rindu hanya berbatas sekat
Bedanya tipis-tipis, sakitnya berlapis-lapis
Sayangku, sayang
Menunggu atau pulang”
Pekanbaru, 26 Mei 2015

13.  TIGA BELAS

ENGKAU DATANG PUKUL BERAPA

Engkau datang pukul berapa ?
Di halte bis kota, nona muda berkaca
Dengan lipstik merah muda, dipoleskannya merona
Nona muda menunggu sambil berkaca
Satu jam
Dua jam

Engkau datang pukul berapa ?
Nona muda mulai resah juga
Merona bibirnya, perlahan luntur
Derai-derai bulir, perlahan menunggu gilirannya
Nona muda semakin gundah saja
Selangkah ke kiri, balik ke kanan
Sebentar duduk, sebentar berdiri
Aduh, aduh
Sesak napas nona muda menahan kecewa

Engkau datang pukul berapa ?
Lelah aku menunggu
Menunggu engkau datang
Menunggu bersama cinta yang aku bawa sejak tadi
Wahai kekasih,
Engkau datang pukul berapa ?
Pekanbaru, 26 Mei 2015

14.  EMPAT BELAS
Ternyata menyayangi mu sesakit ini, seperih ini, sepahit ini, serumit ini, dan begitu berbelit-belit. Hanya sakit yang teramat dalam, luka yang teramat perih yang aku rasakan sejak beberapa hari yang lalu. Kau sebut apakah SAYANG mu iu ? Janji ? Kata pengobat hati, atau kata berbisa hingga hati ini lupa diri ? SAKIT sayang, teramat sakitnya. Pun kalau tau jadinya akan begini, lebih baik aku bungkam, diam dan hanya memendam. Menyesal aku menulis begitu panjang lebar, begitu dalam dan pada akhirnya, engkau benar-benar menjadi harapan yang begitu nyata sebagai khayalan.
Sampai detik ini aku sedang mencoba untuk bersikap biasa-biasa saja, seolah-olah hati ini lukanya tidak menganga. PERSETAN. Aku tidak bisa bersandiwara aku baik-baik saja. Terlampau dalam kau tancapkan, tapi terlalu pelan kau cabut duri dalam itu. Hingga hanay sakit yang bertubi-tubi aku rasakan. Setengah mati aku bersusah payah menahan amarah saat kau berubah. TOTAL sekali kau berubah. Bahkan orang buta pun bisa melihat bahwa kau telah berubah. Persetan dengan alibi-alibi mu.
Apakah begini kau menyayangi ku ? Apakah begini kau memastikan aku mampu tersenyum setelah kau sulut isak ku menjadi jadi ? Beginikah caranya **** ? Begini ? Kalau boleh jujur, sudah mau bunuh diri aku karena depresi. Tapi, ya sudahlah. Aku hanay tak mau menjadi beban mu. Aku hanya mampu menereima, aku tak punya hak, aku tak punya kuasa. Kalau memang begini adanya, kirim kembali saja hati ku ke tempat semula. Bisa ? Bisakah kau lakukan itu**** ? Letakan hatiku di tempat semula. Apakah aku meminta terlalu berlebihan ? Apakah terlalu memberatkan ? Aku menyayangimu ****, meski sekarang aku berdarah-darah tapi tak apa. Aku tetap menyayangi mu. Pun kalau terluka lagi apa boleh buat, toh yang memilih adalah aku.
Hatiku sakit, hati ku luka. Saat aku bukanlah diri ku lagi, saat aku tak lagi di temapat ku sendiri, saat aku terusir dari rumah ku sendiri, saat aku terjajah di tanah ku sendiri. Sakit, lagi-lagi sakit. Aku benar-benar ingin mencintai mu dengan sederhana, tanpa sakit tanpa luka. Meski kenyataanya adalah sakit sangit sanagt luka, aku menyayangi mu

Pekanbaru, 8 Juni 2015

15.  LIMA BELAS
Kita benar-benar orang yang berbeda. Engkau datang darimana, aku datang entah darimana juga. Dan kita benar-benar orang yang tidak pernah sama. Kita hanyalah dua orang yang saling mengenal, bukan dua orang yang saling mengerti. Bahkan, si tuli pun bisa mendengar teriakan hati kita masing-masing. Meski kita adalah orang yang berbeda, orang yang tidak sama, entah kenapa aku tetap saja mencoba mendekat, mencoba lebih akrab. Aku tetap saja berlari-lari, mengejar-ngejar. Aku tetap saja begitu, bahkan sampai detik ini.
Kita benar-benar dua orang asing, sekarang. Entah aku yang menjadi asing, entah kau yang menjadi asing. Asing tak mengerti, seolah-olah kita adalah orang yang baru saling menyapa pagi ini, lalu bertatapan saling tersenyum. Hanya sekedar kenal wajah, tanpa tahu aku siapa,tanpa tahu engkau siapa. Begitulah kita beberapa hari ini. Kita benar-benar dua orang asing yang sering bertemu. Entahlah, seakan sekarang semua tetap sama tapi ada yang berebeda. Aku bisa berkata, aku baik-baik saja walau pada kenyataannyaluka ku terbuka menganga. Aku bisa berkata tidak apa-apa, meski kenyataannya hampir setiap malam aku berlinang air mata. Aku menyumpah, aku marah, aku lelah, aku susah, biar aku saja yang tahu rasanya bagaimana.
Entah kenapa saat aku merasa kau adalah orang lain, saat kau adalah orang asing, ada sebagian hal yang hilang. Hilang,hampa. Ada sesuatu yang sebelumnya ada, tiba-tiba hilang. Dan aku merindukan hal yang hilang itu. Aku merindukannya. Kau hilang, dan menjadi orang lain adalah hal yang sangat menyiksa. Duri kecil tertancap di tempat tersembunyi, ada namun tak sadar keberadaannya, tapi nyata sakitnya. Haruskah aku tidak menjadi diriku lagi ? Haruskah aku menjadi orang lain yang aku sendiri pun tidak kenal siapakah dia ? Haruskah begitu, agar kita kembali seperti semula, agar kita kembali tertawa seperti sebelumnya, agarkita kembali berbicara seperti sebelumnya, agar kita bisa sekedar memandang, tersenyum, lalu tertawa ? Haruskah begitu ?

Pekanbaru, 9 Juni 2015

16.  ENAM BELAS
Semalam kau patahkan pertaruhan ku dengan Tuhan. Setelah empat hari tanpa kabaryang jelas, kau hubungi aku. Bergetar, berkejar-kejar jantungku saat hendak mengangkatnya. Bukan hanya sekedar rindu, tapi aku juga takut aku sakit lagi. Aku tak tahan kalau aku harus mengangis lagi. Aku lelah menangis. Kita benar-benar orang asing. Meski waktu berjalan selama biasanya, namun rasa, namun cara kita tak lagi sama menghabiskannya. Kita bebar-benar asing, kita benar-benar berubah, kita bukan lagi orang yang sama.
Waktu yang yang ku rasa bisa untuk bahagia beberapa minggu yang lalu, sekarang hanya terisi oleh omongan basa-basi pembuka percakapan. Omongan yang benar-benar basi, hambar, tanpa rasa. Seakan satu menit berasa satu jam. Oh, kita benar-benar menjadi orang asing. Coba dengarkan, coba bandingkan. Apakah merasa ada sesuatu yang berbeda ? Aku yakin kau pasti merasakan.
Kepada kita yang sedang mencoba bersikap biasa-biasa saja, padahal ada sesuatu yang tidak bisa kita katakan baik-baik saja. Kepada kau yang sedang mencoba untuk bisa berbicara senormal-normalnya tanpa cacat tanpa cela. Kepada aku yang sedang mencoba bersikap biasa saja. Jujur aku tersiksa, aku ingin hidup biasa-biasa saja tanpa siksa seperti ini.
Pekanbaru, 10 Juni 2015

17.  TUJUH BELAS
Dan aku benar-benar merindukan mu. Sudah selang beberapa hari, hujan selalu menggoda ku dengan derai-derai basahnya. Aku merindukan senyum mu, tawa mu, bengal mu, aku merindukan semuanya. Bahkan aku merindukan asap rokok mu yang selalu kau hembuskan saat kita duduk berdua, bercengkrama, tertawa berdua, bercanda, DULU. Dulu, sebelum kita menjadi dua orang asing yang hanya saling mengenal tanpa saling mengerti. Padahal dulu, kau adalah orang yang selalu mengerti. Aku benar-benar merindukan mu. Kepada mendung sebelum hujan, kepada sesak sebelum tangis. Tolong sampaikan rindu tak terbalaskan ini pada asa, pada sesak dalam dada.
Pekanbaru, 14 Juni 2015

18.  DELAPAN BELAS
Kemaren kita bertemu, beradu mata, salaing pandang. Mataku tepat di matamu. Aku berbisik dan kau mengiyakan, lalu kita saling tersenyum. Kau tahu tidak, aku bahagia saat kita bisa saling pandang, saling tersenyum, meski hanya beberapa menit sebelum kau sadar bahwa kita sedang memainkan peran menjadi “orang asing”. Tadi kita bicara. Aku bertanya, kau menjawab. Meski hanya sekedarnya, aku bahagia ternyata kita masih bisa berbicara. Sedikit banayk kau curi pandng, sedikit banyak aku juga begitu.
Kita seperti orang yang baru bertemu tadi pagi saja. Ingin kembali saling mengenal, namun saling malu, saling angkuh. Mataku tepat dimatamu. Kita saling berbicara saling tersenyum. Meski hanya beberapa menit saja, cukup rasanya mengobati rindu ku pada suara mu, pada tawa mu, pada asap rokok mu. Aku benar-benar merindukan mu. Semuanya, kau merindukanmu. Lalu kita kembali ke peran kita masing-masing. Kita kembali menjadi orang asing. Ya sudahlah, kalau memang ini skenarionya, aku bisa apa ? Aku hanya bisa menjalani peran ini sebaik-baiknya. Aku merindukan mu, aku merindukan semuanya. Apakah telpon mu 6 hari yang lalu adalah telpon terakhir ? Sampai kapan aku menghitung waktu untuk menunggu telpon berdering ?
Pekanabaru, 16 Juni 2015

19.  SEMBILAN BELAS
Sakit memang ketika kita mencoba untuk tidak peduli, untuk mencoba menutup mata, telinga, dan hati atas apa yang dilakukan orang yang kita sayang. Air maat seakan-akan dibuka kran-nya. Ia mengalir mengikuti aliran hati yang semakin lama makin sempit, makin sesak, dan makin sakit. Pun pada akhirnya, aku tidak tahu kedepannya. Meski logika berkata “BERHENTI SAJA” tapi hati menolak mentah-mentah. Meski terkadang hati mulai mengikuti logika, tapi ia tetap saja kembali ke titik awal. Ia kembali MENUNGGU sampai semuanya baik-baik saja. Entah itu KAPAN ? Dan butuh berapa lama ? Menguji hati ternyata tidak segampang bicara.
Payakumbuh, 25 Juni 2015

20.  DUA PULUH
SIAPA PENJAHATNYA
Bahkan kalau kau suruh aku untuk bernapas kali ini aku tak sanggup.
Aku seolah olah menjadi tersangkanya.
Dihakimi berjuta pasang mata.
 Masih kau suruh kah aku untuk menghirup udara yang aku rasa ini menjijikkan.

Ingin ku putar iming iming murahan mu.
Panah tajam menghujam.
Tikam dalam dalam.
Kau memang pembohong besar.
Bajingan Tua.
Tapi aku cinta jua, karna inilah aku digerayangi dusta-dusta.

Aku terlalu percaya dan ini akhirnya.
Aku tersangka utamanya.
Dihakimi sejuta pasang mata.
Malu ?
Tak usah kau tanya lagi.
Aku lebih baik telanjang tanpa sehelai benang.
Dan kau masih sanggup melihat serta menghakimi ku sayang ?
Kau benar benar sempurna

Payakumbuh, 28 Juni 2015

21.  DUA PULUH SATU
LARI
Lebih baik aku lari.
Bersembunyi dibalik sajak sajak abadi.
Lebih baik aku tenggelam dalam puisi malam.
Lebih baik aku bermandikan air mata dalam prosa ganja.

Ini tanahku, ini hak ku.
Aku bebas menjadi menir.
Mungkin aku pengecut keparat yang melarat.
Terjebak dalam pusaran rumit nya hidup.

Hidup kau bilang ?
Sekali - kali tidak.
Ini bukan hidup, ini bukan hidup.
Tak ada pengecut dalam kisah ini.
Kisah ini kisah dewa-dewa.
Bukan kisah murahan para durjana.
Dan kau bilang kau hidup ?
Persetan

Astaga, ternyata aku mati muda.
Mati tercucuk luka, tertikam dusta.
Aku sudah mati ?
Lalu kau sebut apakah sayang mu itu tadi pagi ?
Omong kosong kah ?
Persetan
Payakumbuh, 28 Juni 2015

22.  DUA PULUH DUA
PADA AKHIRNYA
Enak sekali, namamu abadi dalam sajak sajak fana.
Dipuja disebut berkali kali.
Aku punya hati entah milik siapa.

Pun pada akhirnya.
Aku dan kau tidak tau akhir kisah ini.
Mungkin aku pergi, kawin, dan beranak.
Dengan org lain, dengan lelaki lain.
Atau mungkin aku berkelana.
Serupa Ahasveros.
Agar tak kembali pada hatimu yang entah milik siapa.

Begitu juga kau.
Bermain main dengan hati yang lain.
Sampai akhirnya kau temukan.
Dan aku berharap.
Bukan dengan sundal di ujung gang jalan.

Ah, udara makin pengap.
Sesak napas aku, jadi gagap gagap.
Kepada engkau, sayang ku sayang.
Sampai kapan kisah ini bertualang.

Pun mungkin pada akhirnya.
Kita merajut cinta sama sama.
Serupa Rama dengan Sinta.
Serupa Hitler dengan Eva.
Lalu kita bahagia.
Payakumbuh, 28 Juni 2015


23.  DUA PULUH TIGA
Tuhan memang selalu benar dengan firman-Nya. Tuhan mengajarkan agar hamba-Nya tidak berlebih-lebihan. Dan benar saja, berlebih-lebihan mendatangkan mudarat. Aku diperdaya dan berlarut larut dalam sapuan kesedihan akibat kehilangan dua makhluk yang aku sayangi secara berlebih-lebihan. Sakit yang ditimbulkan berlebih-lebihan, kesedihan yang ditimbulkan berlebih-lebihan, serta pedih yang ditimbulkan juga berlebih-lebihan. Kenangan akan dua makhluk itu pun juga muncul secara berlebih-lebihan. Akibatnya, ya kau tau sendiri kadar sakit, sedih, dan perih juga meningkat secara berlebih-lebihan.
Untuk dua makhluk yang aku sayangi secara berlebih-lebihan. Kepada makhluk 1, pulang lah sayang. Tak rindukah engkau kepada ku ? Tak ingat kah kau waktu yg telah kita lalui bersama ? Hitungan tahun bukan waktu yang sebentar, aku terlanjur menyayangi mu secara berlebih-lebihan. Untuk makhluk 2, aku tidak meminta mu pulang, sejatinya kita memang tidak mempunyai rumah. Aku juga tidak meminta mu untuk merindu, mengingat waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya meminta mu untuk KEMBALI. Meski hitungan tahun belum kita lewati, tapi periode ini cukup membuat ku menyayangi mu secara berlebih-lebihan. Dan sakitnya kehilangan mu berlipat ganda secara berlebihan.
Untuk dua  makhluk yang aku sayangi secara berlebih-lebihan. Aku tak bisa berhenti menyayangi kalian secara berlebih-lebihan, pun ku tau sakitnya kehilangan kalian juga akan berlebih-lebihan. Tapi jika kalian sempat, jenguk lah hati yang tengah sekarat secara berlebih-lebihan.
Payakumbuh, 29 Juni 2015

24.  DUA PULUH EMPAT
Antara bahagia dan sesak juga sebenarnya. Kita sudah mulai menata serpihan yang kita pecahkan beberapa minggu lalu. Kita sudah mulai berangsur-angsur meninggalkan peran orang asing dan kita mulai menjadi diri kita sendiri, meskipun belum seutuhnya. Aku menjadi seutuhnya, dan kau menjadi tiga per empat nya dari diri mu. Seperempatnya lagi masih malu-malu. Tapi tidak apa-apa, meskipun begitu aku tetap mencintaimu dan menyayangi mu sepenuhnya. Aku hanya mampu menyayangi mu meski sekarang aku hanya diam. Ya, aku menyayangi mu.
Payakumbuh, 11 Juli 2015