Sabtu, 01 Oktober 2016

PEREMPUAN DAN PERASAANNYA YANG KEMBALI



Saya pernah mati rasa sekali dalam hidup saya dan saya harap itu untuk yang pertama dan terakhir dalam hidup saya. Tidak merasakan apapun, membiarkan segala nya berjalan begitu saja. Tidak ada lagi senja yang sendu, malam yang sepi, pagi yang berapi-api dan hujan yang membuncah segala bentuk kenangan dan perasaan yang tumpah ruah. Tidak ada tulisan, tidak ada puisi, tidak ada sajak-sajak. Tidak ada air mata, tidak ada sedu sedan, tidak ada senyum atau tertawa. Pun kalau ada, hanya sebatas luapan emosi sederhana khas kerja otak bagian kanan. Emosi yang menandakan saya masih sebagai manusia yang masih berperasaan meski saya sedang mati rasa. Hari-hari berjalan begitu saja tanpa sesuatu yang dapat dikenang dan dihayati meski sepersekian bagian nya. Banyak hal yang dilewatkan saat bisa dirasakan. Dan sungguh, menjadi perempuan yang tidak berperasaan itu bukanlah hal yang menyenangkan.  
Alasan mengapa saya bisa mati rasa itu sebenarnya sederhana. Karna membiarkan perasaan ini mati secara perlahan atau lebih tepatnya dibunuh secara perlahan dengan cara menikamnya sedikit-sedikit sampai dalam. Tiap kali terkenang, tiap itulah ditikam makin dalam sampai mati. Bahkan saya pernah mencoba setiap saat. Kala hujan rintik-rintik atau hujan lebat sekalipun. Atau saat matahari sedang terik. Atau saat malam, saat saya sedang sendirian dikamar dan segalanya malah terasa makin sepi. Saya juga pernah membicarakan tentang “PANDUAN MEMBUNUH MASA LALU” bersama teman bercerita saya. Teman yang selalu mendengar keluh kesah saya tentang apa saja. Dia merasakan sesuatu yang rumit dengan telaganya sedang saya merasakan hal yang sama dengan seorang lelaki. Kami sama-sama mencoba memahami “PANDUAN MEMBUNUH MASA LALU” dan beberapa waktu sesudahnya bekerja. Kami benar-benar menjadi orang yang mati rasa. Berkelana kemana-mana dan menyibukan diri dengan banyak hal meskipun kadangkala terpaksa dan dipaksa untuk sibuk. Dia beruntung, mendapat dua bulan untuk mengabdi dengan KKN nya. Sedang saya menyedihkan. Setelah berhenti bekerja di pasar, saya melanjutkan menyiar radio. Ini hal yang menyenangkan sekaligus sulit. Saya senang dapat berbicara banyak, menghabiskan seharian dengan duduk di studio dan memainkan lagu-lagu. Dan saya sulit, ketika di beberapa segmen saya harus memutarkan lagu-lagu yang membuat saya harus mengingat dan terkenang makin banyak. Disitu saya harus bertarung. Membunuh dan menikam lebih banyak. Kadang saya menang tapi saya lebih sering kalah. Jika saya kalah saya biasanya hanya terdiam dan tercenung serta membiarkan diri saya dikuasai berbagai macam kenangan yang menghujani sekonyong-konyongnya. Saya tidak menangis, meskipun saya ingin tapi saya sudah tidak bisa menangis sebab perasaan saya hampir mati. Atau saya akan keluar studio sejenak dan duduk memandangi jalan raya. Memandang kendaraan yang lewat sambil mengingat jalan raya di kota ini. Semenjak kejadian itu dan perenungan selama saya liburan saya kelihatan tambah kuat padahal sebenarnya saya lemah. Manusia kuat karna perasaannya sedang saya tidak memilikinya. Saya kuat hanya jarna saya mencoba membunuh dan melupakan segalanya. Membiarkan segala hal, tidak mengingat-ingat dan berpura-pura. Saya sungguh merasa menyedihkan sekali.
Semakin hari, semakin saya sering merenung, saya kira membunuh perasaan bukan hal yang tepat. Saya memang menjadi kuat tapi saya kehilangan banyak hal. Saya kehilangan rasa senang, saya kehilangan rasa sedih, saya kehingan tawa,air mata, senyum, saya kehilangan nafsu dan segala hal. Terlebih saya kehilangan puisi-puisi. Saya benar-benar miskin kala itu dan saya benar-benar sepi dan sendirian. Sejatinya mengembalikan segala hal dan membuatnya bermuara kepada Tuhan adalah jalan yang benar. Saya tak harus menjadi perempuan yang ditinggal mati perasaannya. Saya tidak harus mengahadapi segalanya secara kekanak-kanakan. Saya sudah 19 dan kata orang itu saya tidak boleh lagi cengeng. Saya sudah besar namun saya belum dewasa. Kalau saya mengingat fase ini yang dalam hidup saya, saya merasa saya benar-benar dilakahkan oleh diri saya sendiri.
Beberapa minggu yang lalu banyak hal yang menghidupkan kembali perasaan saya yang sekarat. Tuhan, ibu saya, sahabat-sahabat saya,  kakak saya, terlebih orang itu. Mereka menghidupkan kembali perasaan saya. Menghidupkan perasaan saya , bukan berarti saya kembali serupa perempuan sebelum kematian perasaannya yang melulu sedu sedan karna kenangan. Perasan saya yang hidup kembali mengajarkan banyak hal dalam hidup saya. Saya menjadi kuat dengan perasaan saya bukan karna kematian perasaan saya. Saya bisa menulis kembali dan saya rasa puisi itu benar-benar indah meski perasaan saya baru hidup sepenuhnya. Meskipun puisi yang saya tuliskan belum mampu membawa saya pergi jauh, tapi saya bahagia karna saya bisa menulis kembali dengan perasaan. Sejujurnya puisi itu puisi cinta untuk tuan yang saya tulis dengan sepenuh hati dan perasaan. Menuliskannya begitu menyenangkan karna saya menuliskannya denagn perasaan saya.  Meskipun untuk satu puisi ini saya menghabisakan 7 jam. Sengaja saya menggunakan perempuan sebab saya masih tak ingin berterus terang.
KEPADA PEREMPUAN RUPA RIMBO TUJUH DANAU

Duhai,
Menjemputmu ke rumah panggung dengan,
Langgam Melayu Kampar berkacak
Buat aku sangsi
Terlebih seminggu selepas hari raya
Saat takbir masih menggema
Bersaing dengan deru pompong
Membelah senyap rimba
Aku kecut
Kemudian ciut di Tobu Bajambak
Sebab ada Datuk Mojolelo
Bapak orang Melayu
Serta orang-orang kenyang
Beranak-pinak melahap kapiek, belida, kapa, baung dan
segala yang sudah dimasak
Dan dijujung di atas kepala sama-sama
Padahal aku
Harus mengahadap Datuk Bagindak
Untuk mengatakan
Bahwa gadis Domo ini memiliki keteduhan lebih dari Rimbo Tujuh Danau

Di matanya ketentraman tersadai
Rengas menahun sampai ratusan
Simpur melarat kabur
Dan Beranti,
Tak kunjung dinanti mati
Karet tegak sejajar di alisnya
Karena kelimpahan Tuhan pada getah
Menjadikan Bapaknya
Beranak cantik sekali

Pada kelopaknya
Selindit kejar-mengejar
Serupa sepasang kekasih yang,
Tidak ingin ditinggalkan sendirian
Hidungnya bangir
Dan kita pun mandi di tepian
Balimau dengan air Kampar sampai kasai
Sebelum meminta kerilaan
Kepada orang-orang tua

Dan aku ingin
Menyusuri ceruk bibirmu yang penuh lopak
Aku tak peduli
Meski harus kehabisan darah karena acek keparat
Tetap kususuri jua telaga di bibir itu
Melewati jalan setapak yang panjang dan becek
Sebab kau mengandung
Sempirai dan lukahku yang,
Tiada umpan
Kita beranak ikan-ikan

Duhai,
Kau cantik sekali
Delapan danau selatan
Berpagut pada wajahmu yang selalu memerah saat kusentuh
Tuok Tonga dan Baru
Punya lazuardi ketika siang di dekat bulu matamu
Disebelah atas bibir kananmu
Tahi lalat itu diigalkan Tanjung Putus
Pinang Dalam dan Pinang Luar dipisah kuala
Di belahan dagumu
Saat kita bertatapan
Seketika Rayo, Bunte, dan Tanjung Baling menjadikan
Aku kuyup dan larat
Pada tubuhmu yang tidak mengenal dasar

Duhai,
Ketika kita menunggu
Matahari lingsir di tepi beting Kampar
Kuciptakan mambang dan jimbalang
Agar abadi rupamu
Tak jadi abu yang hangus terbakar

Pekanbaru, 10 September 2016


Terimaksih kepada orang-orang yang menghidupkan perasaan saya kembali. Sungguh saya merasa lebih kuat dari sebelumnya. Terimaksih kepada sahabat-sahabat saya yang setia mendengar keluh kesah saya. Kepada kakak saya, terimakasih mengajarkan banyak hal tentang kasih sayang kepada saya. Saya yakin kita adalah perempuan yang kuat dengan perasaan. Terimakasih kepada Tuan yang menghidupkan perasaan saya di waktu yang tepat saat saya harus menulis puisi untuk lomba meskipun saya belum berhasil. Terimaksih banyak.

Salam Hangat


Putri yang sudah berperasaan